Duhai
sahabat kata hati. Sering, sampai berkali-kali aku tuli. Berpura-pura tuli
lebih tepatnya. Serta berpura-pura buta pula. Entah berkali-kali itu berapa
kali. Seingatku ini sudah yang ke-delapan kalinya, atau mungkin lebih karna
banyak yang luput dari hitungan. Kau (sahabat kata hatiku), sering ku hiraukan.
Bahkan tak jarang aku lebih pilih membangkang daripada sejenak mendengarkan
celotehmu. Meski akhirnya masuk kuping kiri keluar kuping kanan.
Duhai
sahabat kata hatiku. Yang sabar menerangi sudut gelap kehidupanku. Kini cahayamu
tinggal lima watt. Tapi melihat keadaanmu itu aku yang pandir ini tak jua mau berhenti
dari kecepatan tinggi sang kaki berlari. Padahal aku tahu, cahayamu kian redup
itu semata-mata karna aku tak mau juga mendengar. Aku sadar bahwa keakuanku
mendengar dan mempertimbangkan celotehmu adalah sumber kekuatan cahaya itu. Tapi
itu tadi, dulu aku pandir. Sekarang?
Duhai
sahabat kata hati. Yang Tuhan Maha Kasih anugerahkan bagiku, hamba-Nya yang
bodoh ini. Yang dihadirkan guna menjadi Pak Pos pengantar pesan-pesan Tuhan.
Aku biarkan surat-surat itu dipenuhi debu. Aku biarkan surat-surat itu dimakan
rayap. Aku biarkan, tak ku hiraukan.
Duhai
sahabat kata hati. Hingga sampai waktunya, engkau tidak tahu lagi harus berbuat
apa untuk membangunkanku dari tidur panjang ini. Padahal segala teguran atas
nista ini telah nyata. Patah tulang, lebam-lebam, luka-luka yang berdarah,
goresan-goresan dari kerikil aspal yang tengah dipanggang terik matahari, baju
yang koyak dan vonis dokter yang sok tahu, dan mungkin banyak lagi. Engkau akhirnya
memilih untuk pergi, meski kau rasa berat. Karna aku tahu kau sayang akan aku,
selalu ingin aku berada di jalan yang semestinya.
Duhai
sahabat kata hati. Aku menyesal selama ini telah mengabaikanmu. Namun, aku
bersyukur. Di detik-detik menjelang “kepergianmu” aku masih kuasa berlari untuk
mencegah. Karna jika aku terlambat sedikit saja saat itu, aku pasti akan mati. Ya,
mati. Kematian. Ragaku mungkin hidup, tapi tak akan ada makna, tak ada cinta,
tersesat. Karna yang mati lebih dari sekedar raga.
Duhai
sahabat kata hati. Please maafkan aku. Kumohon jangan pernah tersirat dalam
pikiranmu untuk pergi tinggalkanku. Sungguh, kehadiranmu adalah kesyukuran
terbesar dalam hidupku. Allah begitu baik berikan kesempatan ini (lagi) pada
hamba senista aku.
Duhai
sahabat kata hati. Tak ingin lagi aku berpura-pura tuli dan buta. Mulai sekarang,
akan ku buka mata dan telingaku lebar-lebar. Tak mau lagi aku hiraukan suaramu.
Aku takut “mati”, aku takut Ia tak sayang lagi padaku. Akan kudengar, akan ku
timbangkan, aku janji!!
Duhai
sahabat kata hati. Terimakasih atas kasih dan sabarmu atas aku. Aku tetap harus
berbenah diri dan berhati-hati. Karna rupanya ada kembaranmu. Yang suka menipu,
menggoda dan meniupkan rasa was-was di atas ubun-ubun manusia. Aku tak kuasa
membedakannya. Maka dari itu aku berlindung pada Allah, Tuhannya manusia. Raja
manusia. Sembahan manusia. Dari kejahatan setan yang sembunyi. Yang membisikan
kejahatan kedalam dada manusia. Dari golongan jin dan manusia.
Terimakasih
Duhai sahabat kata hati..
Petak
3 kali 3, pukul 10.56
Vissiana
Rizky Sutarmin
Sahabatmu