Selasa, 08 Januari 2013

Memungut Teman





 “Kau lebih dari sekedar pungutan kisah masa lalu. Kau pungutan yang berarti. Kau temanku, selamanya begitu.”

Dan rasa bersalah itupun muncul lagi. Tentang sebuah kekeliruan. Tepatnya delapan tahun yang lalu, hanya dengan sekali pertemuan saja kita sudah bisa saling ikrar sebagai teman. Oh Tuhan, atas kehendak-Mu bisa saja aku mati sebelum sempat meminta maaf. Atau bisa pula dia mati sebelum sempat mendengarkan permohonan maafku. Tapi Engkau Maha Baik, padahal delapan tahun bukanlah waktu yang sebentar. Segala kemungkinan bisa saja terjadi.
Hmm, aku beruntung. Pasti karena skenario-Nya, bisa kulihat lagi wajah itu diseberang sana. Mengendalikan sebuah stir, menunggu, berharap belasan manusia naik dermaganya. Masih kuingat, delapan tahun lalu saat kita masih berteman, kau memilih berjualan kerupuk keliling kampung untuk membantu ibumu yang single parent itu. Ya, kudengar ibu-ibu bergosip, katanya ayahmu kabur meninggalkanmu, ibumu dan adik-adikmu. Kabur, hanya karena tak sanggup menanggung beban hidup yang kian berat.
Kurasa hidupmu lebih baik sekarang. Mungkin. Dengan menjadi supir tembak angkot jurusan Andir- Dayeuhkolot. Tapi bukankah hidup pun kian berat? Ibumu pasti menua, adik-adikmu pasti butuh lebih banyak biaya, dan kau, kau pun kian dewasa. Nampaknya. Kuharap kau tetap jadi anak yang baik dan bertanggung jawab, sama, seperti yang aku kenal delapan tahun lalu.
Hai, aku yakin kau tak punya SIM untuk melakoni pekerjaan barumu ini. Aku penasaran dari siapa kau belajar menyetir. Aku juga ingin tahu bagaimana perjalanan hidupmu delapan tahun kebelakang. Selama itukah waktu berlalu?
Kenangan itu hadir lagi, untunglah bapak penjual es menyadarkanku.
“Neng, ini es-nya, semuanya 6 ribu.”
“Hah, oh, emh iya pak. Ini uangnya. Terimakasih.”
Aku jadi sedih. Saat kulihat lagi. Kaca mobil angkot yang kau kendarai sudah tertutup. Kau merendahkan posisi dudukmu, seolah bersembunyi. Apa kau tidak suka melihatku? Atau mungkin ini sebuah tanda bahwa kau masih mengingatku, dan juga, kejadian delapan tahun lalu yang mungkin belum termaafkan.
Andai delapan tahun lalu cara pandangku sama seperti saat ini. Mungkin sudah kususul kau kerumahmu, lalu aku minta maaf, maaf atas kekeliruanku, atas kesalahfahamanku, atas kesalahartianku, atas kecerobohanku yang membuat kau dimarahi pamanku didepan umum. Tapi sayang, dulu kita masih anak-anak. Aku tidak mengerti, kau pun menangis, padahal kau lelaki, tapi bukankah kita masih sangat dini? Seharusnya orang dewasa bisa bersikap lebih bijak saat itu. Aku kesal, ingin menyalahkan semua orang termasuk dirimu. Tapi nyatanya, aku merasa baikkan jika menyalahkah diriku sendiri, saja.
Sejak aku melihatmu lagi pada kesempatan itu, aku mencoba bersikap biasa.
 “Ah, itu hanya masa lalu. Lagipula saat itu aku masih anak-anak, wajarlah.” gumamku.
Tapi keresahan muncul, dan kian hari kian tak terkendali. Saat itu aku memang masih anak-anak, tapi kesalahan tetaplah kesalahan, dan aku harus memperbaikinya. Aku yakin semua yang sudah aku alami, semua kejadian akhir-akhir ini dan resah akan rasa bersalah yang menghantui adalah pertanda. Pertanda bahwa ada sesuatu yang ingin Tuhan tunjukkan padaku.
Ya, aku harus minta maaf. Aku harus berani. Siapkan nyali, untuk menghampirinya.
Nyatanya tak mudah. Beberapa cara sudah dicoba tapi gagal. Termasuk mencoba naik angkot jurusan tersebut, berharap temanku itu sopirnya. Ada puluhan angkot, sulit sekali bisa tepat. Padahal banyak yang ingin aku sampaikan, bukan hanya minta maaf, aku juga ingin tahu keadaannya.
Ini pasti ujiannya, aku harus terus berusaha. Minimal aku bisa berusaha memperbaiki kesalahan yang aku tahu dan aku sadari. Adapun untuk kesalahan yang tidak aku tahu dan tidak aku sadari, semoga Tuhan mengampuniku.
Beberapa lembar sudah tercoret penuh dengan berbagai rencana bagaimana agar berhasil menemuinya dan meminta maaf. Termasuk merangkai kalimat yang akan aku sampaikan jika sewaktu-waktu Tuhan menghendaki jalan untuk bertemu dengannya. Ya, memang semuanya bergantung pada Tuhan. Karena hanya Dia-lah yang Maha Tahu jalan terbaik untuk setiap hamba-Nya. Dan, karena Dia-lah yang Maha Pembuat Skenario. Aku serahkan sepenuhnya tentang bagaimana, kapan dan dimana pertemuan itu akan terjadi. Kini, aku hanya bisa meminta, berusaha dan menunggu kemana takdir Tuhan akan membawaku.
Aku ingin meminta maaf, aku ingin kau memaafkanku, dan aku ingin..
Kita berteman lagi, seperti dulu..