Karena rasa sakit itu manis, maka berbahagialah
Hujan
diluar begitu deras Kay, petirnya pun membuat jiwaku tak tenang. Kau ada
dimana? Berminggu-minggu, sampai sebulan kau menghilang entah kemana. Sudah
kucari, sampai ke jembatan awan tempat kau biasa menyendiri, tapi kau tidak ada
disana.
Aku
tak bisa tidur Kay, terlebih suara hujan dan petir yang tidak jua usai. Jiwaku
berdebar, tak tenang. Pikiranku mengawang-ngawang, terbayang telah terjadi sesuatu
yang buruk terhadapmu. Tidak , jangan! Jangan sampai apa yang aku bayangkan
terjadi.
“Ka..
buka pintunya..!!”
Aku
tersadar dari lamunanku. Siapa yang bertamu malam-malam ditengah hujan deras?
Tanpa pikir panjang aku bukakan pintu. Betapa terkejutnya aku, Kay ada
dihadapanku dengan wajah lusuh, basah kuyup.
“Kay..
kemana saja kau? Apa yang kau lakukan malam-malam begini? Mengapa kau menangis?
Ada apa?”
Tapi
seperti yang aku duga, Kay tak berkata sepatah katapun. Kay hanya duduk di
kursi sambil gemetaran, tatapan matanya kosong. Aku siapkan secangkir susu
coklat panas dan sepotong kue coklat, ini kesukaannya. Aku simpan dimeja, aku
minta Kay segera meminumnya selagi panas.
Melihatnya,
akupun jadi ikut terdiam. Aku jadi tak kuasa untuk menginterogasinya, meminta
penjelasan mengapa dia menghilang selama ini. Tangan Kay tetap gemetaran,
mungkin karena seluruh pakaiannya lusuh. Kay menolak waktu ku sodorkan baju
kering untuk menggantikan baju basahnya.
Kay
meraih secangkir susu coklat lalu meminumnya, tapi setelah itu dia menangis,
dan tangisannya semakin kencang. Ada apa Kay? Beban apa lagi yang harus kau
tanggung hingga kau selara ini.
“Ka,
selama ini aku pergi karna aku sedang ingin sendiri. Tapi selain itu, aku juga
pergi adalah untuk diam-diam membuntuti segala aktivitas dia. Tahukah kau ka, kasihan dia.
Dia begitu lemah dan mudah sekali pingsan ketika sedikit saja kelelahan.
Menurut kabar, ada rasa sakit yang amat sangat di bagian perutnya.”
Kay
terdiam, lalu kembali bicara. Aku tak akan memotongnya, akan aku dengarkan
sungguh-sungguh. Aku tahu, jarang sekali dia dapat berbicara banyak.
“Dia baik ka, shaleh dan sangat cerdas. Dia layak mendapatkan hidup yang lebih
lama. Dia layak mewujudkan segala
impiannya. Ka, seandainya Allah mengijinkan, ingin sekali aku dapat
membantunya. Aku ingin dia sehat. Aku
tak mau lagi melihatnya mondar-mandir ke rumah sakit.”
“Aku
tak mengerti Kay, apa maksudmu? Siapa itu dia?”
tanyaku.
“Kau
begitu baik ka, sangat baik. Selama ini aku memang menyembunyikan sesuatu
darimu. Aku tak ingin kau tahu karena aku tak mau kau mengasihaniku.”
Kay,
teka-teki apa lagi yang akan kau tumpahkan ke otakku. Mengapa kau serumit ini.
Selama ini aku kira aku adalah orang yang berhasil memecahkan makna diammu.
Tapi ternyata masih ada, atau lebih tepatnya masih banyak yang belum aku
fahami. Masih banyak yang kau sembunyikan.
“Ka,
sebetulnya selama ini aku sakit. Aku mungkin tak akan bisa sembuh lagi. Aku
tahu, Dokter Agusta memang sok tahu dan
cerewet. Dia bilang aku harus lebih menjaga diri dan memanfaatkan waktu dengan
baik. Aku mungkin saja bisa sembuh, tapi aku tak mau membuat keluargaku sengsara
dengan biaya yang begitu mahal.”
Kau
tahu Kay, aku begitu marah. Marah pada diriku sendiri. Mengapa aku begitu
bodoh. Seharusnya aku tahu ini sejak awal. Seharusnya aku mencurigai obat
penahan rasa sakit yang kau bawa kemanapun itu. Seharusnya aku bertanya-tanya
mengapa kau sering terjatuh tiba-tiba. Seharusnya, mengapa tak seharusnya.
“Aku
baik-baik saja ka, percayalah. Sakit ini tak membuat sedikitpun semangatku
pudar. Aku akan tetap berjalan, aku harus mengejar mimpiku meski waktu telah
menantiku. Percayalah bahwa aku sangat bahagia dengan ini.”
Kay
kau tahu bahwa aku begitu naif, aku tidak pernah menangis karna aku pikir aku
adalah orang yang kuat. Tapi Kay, kau membuatku menangis kini. Maafkan aku Kay.
Ku mohon bagilah lara itu, agar aku dapat menebus kesalahanku yang lalu.
“Kay,
mengapa kau simpan semua itu sendiri? Mengapa kau membiarkanku menebak-nebak
tak pasti? Percayalah padaku Kay, kumohon.”
Kay
hanya tersenyum, tapi binar matanya tak juga hilang. Mata tak mungkin berbohong
Kay, meski ku tahu kau lebih banyak berbohong ketimbang jujur. Kau bohong
bahkan pada dirimu sendiri. Mengapa kau selalu ingin terlihat baik-baik saja di
mata orang lain? Berhentilah Kay, sandarkan pundakmu dan menangislah semaumu.
“Kaka,
aku ingin meminta sesuatu bolehkah? Tapi permintaan ini harus dikabulkan.”
“Tentu
Kay, apa yang kau inginkan, berujarlah.”
“Aku
ingin kau pergi ka, tinggalkan aku. Carilah sahabat lain yang lebih baik. Aku
tahu kau layak mendapatkannya. Jangan kau sia-siakan waktumu hanya untuk orang
yang sakit jiwa sepertiku. Kau berhak mengejar mimpimu. Kau berhak bahagia. Aku
tak mau lagi membebanimu.”
Waktu
seakan terhenti. Sungguh, aku bahagia melihatmu dapat belajar mengungkapkan
perasaanmu, aku bahagia karna kau berbicara lebih banyak kini. Tapi jiwaku
begitu remuk, kata-kata dari mulutku terasa tertahan saat kau bilang agar aku
pergi meninggalkanmu.
“Ka...y,
katakanlah bahwa kau tak bersungguh-sungguh mengatakan itu! Katakanlah bahwa
kau ingin agar aku tetap berada disini. Apa orang yang sakit jiwa tidak berhak
punya sahabat Kay? Mengapa kau begitu jahat pada dirimu sendiri? Jika kau
merasa bahwa selama ini aku terbebani, itu SALAH Kay. Aku bahagia menjadi
sahabatmu.”
Aku
mungkin hanyalah seorang sahabat yang tercipta dipikirannya. Kay mungkin bisa
menghilangkanku kapan saja sesuai kehendaknya. Tapi aku tak mau meninggalkannya
dengan kondisi seperti ini. Duhai Allah, adakah tempat bagi seorang autis
seperti temanku di dunia ini.
“Terimakasih
ka, aku sangat bersyukur punya sahabat sepertimu. Tapi aku harus pergi, aku tak
bisa membohongi kata hatiku. Aku ingin pulang. Kumohon berlapanglah, karena aku
tahu kau akan mengerti meski tak ku jelaskan.”
Kumohon
jangan berkata seperti itu, tetaplah tinggal disini. Aku tetap sahabatmu bukan?
Kemanapun kau akan pergi. Aku berjanji akan berlapang dada, karena aku yakin
kelak akan menemuimu kembali, bahkan dalam atmosfir yang lebih baik.
Kay,
semoga kau dan dia bahagia meski ditempat
berbeda, menapaki rumusan massa baru dengan rasa sakit sebagai pemanisnya.
Meski aku tak tahu dia siapa.
Kay,
inikah jelaga tiga sangkakala, yang membuatku dan dirimu tahu rasa manis dari
cinta Tuhan?
(Fiksi) Lanjutan
Jum'at 24 Februari 2012, 12:33
Vissiana Rizky Sutarmin