Jumat, 24 Februari 2012

Jelaga Tiga Sangkakala.. #2




Karena rasa sakit itu manis, maka berbahagialah

Hujan diluar begitu deras Kay, petirnya pun membuat jiwaku tak tenang. Kau ada dimana? Berminggu-minggu, sampai sebulan kau menghilang entah kemana. Sudah kucari, sampai ke jembatan awan tempat kau biasa menyendiri, tapi kau tidak ada disana.
Aku tak bisa tidur Kay, terlebih suara hujan dan petir yang tidak jua usai. Jiwaku berdebar, tak tenang. Pikiranku mengawang-ngawang, terbayang telah terjadi sesuatu yang buruk terhadapmu. Tidak , jangan! Jangan sampai apa yang aku bayangkan terjadi.
“Ka.. buka pintunya..!!”
Aku tersadar dari lamunanku. Siapa yang bertamu malam-malam ditengah hujan deras? Tanpa pikir panjang aku bukakan pintu. Betapa terkejutnya aku, Kay ada dihadapanku dengan wajah lusuh, basah kuyup.
“Kay.. kemana saja kau? Apa yang kau lakukan malam-malam begini? Mengapa kau menangis? Ada apa?”
Tapi seperti yang aku duga, Kay tak berkata sepatah katapun. Kay hanya duduk di kursi sambil gemetaran, tatapan matanya kosong. Aku siapkan secangkir susu coklat panas dan sepotong kue coklat, ini kesukaannya. Aku simpan dimeja, aku minta Kay segera meminumnya selagi panas.
Melihatnya, akupun jadi ikut terdiam. Aku jadi tak kuasa untuk menginterogasinya, meminta penjelasan mengapa dia menghilang selama ini. Tangan Kay tetap gemetaran, mungkin karena seluruh pakaiannya lusuh. Kay menolak waktu ku sodorkan baju kering untuk menggantikan baju basahnya.
Kay meraih secangkir susu coklat lalu meminumnya, tapi setelah itu dia menangis, dan tangisannya semakin kencang. Ada apa Kay? Beban apa lagi yang harus kau tanggung hingga kau selara ini.
“Ka, selama ini aku pergi karna aku sedang ingin sendiri. Tapi selain itu, aku juga pergi adalah untuk diam-diam membuntuti segala aktivitas dia. Tahukah kau ka, kasihan dia. Dia begitu lemah dan mudah sekali pingsan ketika sedikit saja kelelahan. Menurut kabar, ada rasa sakit yang amat sangat di bagian perutnya.”
Kay terdiam, lalu kembali bicara. Aku tak akan memotongnya, akan aku dengarkan sungguh-sungguh. Aku tahu, jarang sekali dia dapat berbicara banyak.
Dia baik ka, shaleh dan sangat cerdas. Dia layak mendapatkan hidup yang lebih lama. Dia layak mewujudkan segala impiannya. Ka, seandainya Allah mengijinkan, ingin sekali aku dapat membantunya. Aku ingin dia sehat. Aku tak mau lagi melihatnya mondar-mandir ke rumah sakit.”
“Aku tak mengerti Kay, apa maksudmu? Siapa itu dia?” tanyaku.
“Kau begitu baik ka, sangat baik. Selama ini aku memang menyembunyikan sesuatu darimu. Aku tak ingin kau tahu karena aku tak mau kau mengasihaniku.”
Kay, teka-teki apa lagi yang akan kau tumpahkan ke otakku. Mengapa kau serumit ini. Selama ini aku kira aku adalah orang yang berhasil memecahkan makna diammu. Tapi ternyata masih ada, atau lebih tepatnya masih banyak yang belum aku fahami. Masih banyak yang kau sembunyikan.
“Ka, sebetulnya selama ini aku sakit. Aku mungkin tak akan bisa sembuh lagi. Aku tahu, Dokter  Agusta memang sok tahu dan cerewet. Dia bilang aku harus lebih menjaga diri dan memanfaatkan waktu dengan baik. Aku mungkin saja bisa sembuh, tapi aku tak mau membuat keluargaku sengsara dengan biaya yang begitu mahal.”
Kau tahu Kay, aku begitu marah. Marah pada diriku sendiri. Mengapa aku begitu bodoh. Seharusnya aku tahu ini sejak awal. Seharusnya aku mencurigai obat penahan rasa sakit yang kau bawa kemanapun itu. Seharusnya aku bertanya-tanya mengapa kau sering terjatuh tiba-tiba. Seharusnya, mengapa tak seharusnya.
“Aku baik-baik saja ka, percayalah. Sakit ini tak membuat sedikitpun semangatku pudar. Aku akan tetap berjalan, aku harus mengejar mimpiku meski waktu telah menantiku. Percayalah bahwa aku sangat bahagia dengan ini.”
Kay kau tahu bahwa aku begitu naif, aku tidak pernah menangis karna aku pikir aku adalah orang yang kuat. Tapi Kay, kau membuatku menangis kini. Maafkan aku Kay. Ku mohon bagilah lara itu, agar aku dapat menebus kesalahanku yang lalu.
“Kay, mengapa kau simpan semua itu sendiri? Mengapa kau membiarkanku menebak-nebak tak pasti? Percayalah padaku Kay, kumohon.”
Kay hanya tersenyum, tapi binar matanya tak juga hilang. Mata tak mungkin berbohong Kay, meski ku tahu kau lebih banyak berbohong ketimbang jujur. Kau bohong bahkan pada dirimu sendiri. Mengapa kau selalu ingin terlihat baik-baik saja di mata orang lain? Berhentilah Kay, sandarkan pundakmu dan menangislah semaumu.
“Kaka, aku ingin meminta sesuatu bolehkah? Tapi permintaan ini harus dikabulkan.”
“Tentu Kay, apa yang kau inginkan, berujarlah.”
“Aku ingin kau pergi ka, tinggalkan aku. Carilah sahabat lain yang lebih baik. Aku tahu kau layak mendapatkannya. Jangan kau sia-siakan waktumu hanya untuk orang yang sakit jiwa sepertiku. Kau berhak mengejar mimpimu. Kau berhak bahagia. Aku tak mau lagi membebanimu.”
Waktu seakan terhenti. Sungguh, aku bahagia melihatmu dapat belajar mengungkapkan perasaanmu, aku bahagia karna kau berbicara lebih banyak kini. Tapi jiwaku begitu remuk, kata-kata dari mulutku terasa tertahan saat kau bilang agar aku pergi meninggalkanmu.
“Ka...y, katakanlah bahwa kau tak bersungguh-sungguh mengatakan itu! Katakanlah bahwa kau ingin agar aku tetap berada disini. Apa orang yang sakit jiwa tidak berhak punya sahabat Kay? Mengapa kau begitu jahat pada dirimu sendiri? Jika kau merasa bahwa selama ini aku terbebani, itu SALAH Kay. Aku bahagia menjadi sahabatmu.”
Aku mungkin hanyalah seorang sahabat yang tercipta dipikirannya. Kay mungkin bisa menghilangkanku kapan saja sesuai kehendaknya. Tapi aku tak mau meninggalkannya dengan kondisi seperti ini. Duhai Allah, adakah tempat bagi seorang autis seperti temanku di dunia ini.
“Terimakasih ka, aku sangat bersyukur punya sahabat sepertimu. Tapi aku harus pergi, aku tak bisa membohongi kata hatiku. Aku ingin pulang. Kumohon berlapanglah, karena aku tahu kau akan mengerti meski tak ku jelaskan.”
Kumohon jangan berkata seperti itu, tetaplah tinggal disini. Aku tetap sahabatmu bukan? Kemanapun kau akan pergi. Aku berjanji akan berlapang dada, karena aku yakin kelak akan menemuimu kembali, bahkan dalam atmosfir yang lebih baik. 
Kay, semoga kau dan dia bahagia meski ditempat berbeda, menapaki rumusan massa baru dengan rasa sakit sebagai pemanisnya. Meski aku tak tahu dia siapa.
Kay, inikah jelaga tiga sangkakala, yang membuatku dan dirimu tahu rasa manis dari cinta Tuhan?

(Fiksi) Lanjutan
Jum'at 24  Februari 2012, 12:33

Vissiana Rizky Sutarmin