“Aku tak bicara bukan berarti aku
baik-baik saja Rabb. Aku hanya malu. Ya, hanya itu.”
Malam
itu tidur Kay tak juga bisa nyenyak. Lagi-lagi dia tersentak, kali ini dengan
mimpi yang berbeda. Hmm, agak memenuhi pikirannya sampai-sampai ia tak bisa
tidur lagi. Kay, merenung begitu dalam, tenggelam dalam kontemplasinya sendiri.
Dia tahu, ada yang salah. Lebih tepatnya mengganjal pada engsel jiwanya.
Kay
yakin mimpinya bukan tanpa sebab dan juga bukan tanpa hikmah. Ia ingat sesuatu
akibat mimpinya itu. Tapi apa boleh buat, lagi-lagi ia raih buku dan penanya.
Kesulitan mengungkapkan sesuatu melalui lisan membuatnya lebih nyaman memecah
batu ganjalan lewat susunan kata.
“Rabb,
aku tak pernah mengungkapkannya bukan berarti aku tak ingin. Aku tak bertutur
bukan berarti kuasaku mampu. Aku tak menjerit bukan berarti aku tak sakit. Aku
tak protes bukan berarti aku merasa baik-baik saja. Aku diam bukan berarti aku
tak membutuhkan-Mu. Aku hanya. Hanya.. Aku hanya malu. Ya, aku malu Rabb. Oh,
sungguh Engkau Maha Tahu apa dibalik ini semua. Hingga tepat malam ini
ketetapan-Mu membuatku bermimpi begitu perih. Dalam mimpi tersebut, aku
berusaha menghindari seseorang yang hendak membunuhku. Dia yang hendak
membunuhku itu berhasil menembakkan peluru panasnya pada lenganku, aku
tersungkur ke jalan penuh kerikil. Memar dan luka tersayat tajamnya kerikil
saja begini sakitnya, terlebih luka tembak itu. Rabb, saat tersungkur itu aku
kesulitan bangun untuk berlari, rasa sakitnya tak terperi hingga aku tak
sanggup untuk sekedar berdiri. Aku rindu Engkau, tapi aku tak mau mati pasrah
ditangan seorang penembak. Duhai Rabb, karena aku takut dia yang hendak
membunuhku menghampiriku dan menembakkan lagi peluru panasnya padaku untuk
memastikan aku mati, aku terpaksa berpura-pura tak lagi bernyawa. Aku terkapar,
menahan nafas dan pasrah dalam ketidakberdayaan. Ternyata berhasil, dia yang
hendak membunuhkupun pergi dengan tawa puas karena mengira telah berhasil
membunuhku.”
Kay
terdiam, dia memandangi sejenak lengan kanannya. Rasa ngilu dan perih menguasai
pikirannya, ia merasa tak bisa lupa dengan rasa sakit dalam mimpi itu.
“Rabb,
saat ku yakin dia yang hendak membunuhku benar-benar pergi, aku bangun, dengan
sisa-sisa tenaga aku susuri jalan untuk pulang. Sepanjang jalan aku melihat
orang –orang yang aku kenal didunia nyata. Mereka semua memandangiku yang
kusut, berlumur darah dan berjalan terseok-seok. Tapi tak ada yang
menghampiriku. Aku rasa merana. Beginikah hidup? ”
Sebotol
air mineral disamping tempat tidur Kay hampiri, ia minum dan telan perlahan.
Kay menjambak rambutnya lagi, ia merasa sakitnya disini mulai menunjukkan pertanda akan kambuh. Tapi ia terus
menulis. Tangan kanannya tak terganggu oleh tangan kirinya yang sibuk menjambak
rambut. Pun pikirannya, tak terganggu oleh kerasnya hantaman gigi yang saling
beradu.
“Aku
kemudian sampai dirumah, aku lihat semua keluargaku. Darah kian membasahi baju yang kupakai,
hampir hilang warna putihnya oleh merah yang terblok-blok tak beraturan. Kukira
salah satu dari anggota keluargaku akan terkejut melihatku, ternyata tidak.
Wajah mereka terlihat begitu dingin, seolah tak terjadi apa-apa. “Hey, aku hampir mati!!!“ rasanya ingin
meneriaki itu tapi urung. Ku kira pula, akan ada salah satu dari mereka yang
membawaku ke dokter. Tapi sayang, sebotol betadine dan sebuah kata tanya “kenapa” pun tak aku dapat.”
Kay
menarik nafas panjang.
“Rabb,
aku sampai pada satu kesimpulan bahwa aku tak akan pernah bisa hidup sedetikpun
tanpa pertolongan dan kasih sayang- Mu. Aku sampai pada satu jalan akhir bahwa
aku harus bisa berdikari dan kuat
menjalani hidup yang berat ini terlepas dari fitrahku sebagai manusia sosial.
Aku tidak boleh mengandalkan manusia lain yang hakikatnya tak memiliki daya dan
upaya apapun. Maaf Rabb, tapi hingga detik ini, aku tak pernah berani berbagi
sejauh ini selain hanya pada-Mu. Manusia- manusia disekelilingku tak peduli
padaku bukan karena mereka tak baik, mereka hanya sedang harus mengurusi
perkara-perkara dalam hidupnya. Aku merasa sendiri, tapi aku yakin ini karena
Kau ingin aku tetap fokus pada satu keyakinan, bahwa hanya pada-Mu lah cintaku
tercurah.”
Kay
mengakhiri tulisannya, ia kemudian menggulung kertas tersebut. Raut wajahnya
nampak sedikit lebih damai sekarang. Mencoba berbaring, berharap ada angin yang
melenakan matanya untuk tidur kembali. Namun, pemandangan di atap kamarnya
membuat ia terbangun lagi. “Balon gas!!”
Ucapnya lirih.
Balon
gas yang tersimpan dikamarnya adalah balon yang ia beli beberapa hari
kebelakang dijalan. Ya, seperti biasa. Entah ada angin apa Kay tiba-tiba
membelinya. Padahal umurnya sudah akan menginjak 20 tahun. Hmm, sifatnya yang
manja dan kekanak-kanakkan terutama saat menghadap diri pada Tuhan berbanding
terbalik dengan 2 dasawarsa kehidupannya.
Kay
berdiri di tempat tidurnya, meraih balon udara yang terjulur benangnya. Lalu
benang tersebut ia ikatkan pada kertas berisikan tulisannya pasca mimpi yang ia
gulung belum lama. Kay pun naik ke lantai dua rumahnya, membuka pintu keluar
perlahan. Berharap tak ada anggota keluarganya yang bangun.
“Haha.. ko aku pengen ketawa ya?
Hmm.. Rabb, aku tak bermaksud mengurangi ke-Maha Tahuan-Mu dengan ini. Aku
hanya berfikir, lucu rasanya menerbangkan kertas ini ke awan. Seperti dalam
film-film yang berharap surat tersebut kemudian sampai pada Tuhan. Engkau tetap
Maha Baik Rabb..” gumamnya.
Kay
melepas balon udaranya terbang membawa segala isi hatinya malam itu. Senyum
merekah di bibirnya. Kay merasa bahagia, entah karena apa. Mungkin atmosfir
saat ia melepas balon udaranya pergi yang membuatnya begini. Tapi, senyumnya
perlahan meredup. Kay ingat kakaknya lagi. Yang pergi, dan tak kembali.
Rumah, 4 Maret 2013 19:08
Sumber gambar: www.google.co.id