Senin, 04 Maret 2013

Jelaga Tiga Sangkakala #3




“Aku tak bicara bukan berarti aku baik-baik saja Rabb. Aku hanya malu. Ya, hanya itu.”

Malam itu tidur Kay tak juga bisa nyenyak. Lagi-lagi dia tersentak, kali ini dengan mimpi yang berbeda. Hmm, agak memenuhi pikirannya sampai-sampai ia tak bisa tidur lagi. Kay, merenung begitu dalam, tenggelam dalam kontemplasinya sendiri. Dia tahu, ada yang salah. Lebih tepatnya mengganjal pada engsel jiwanya.
Kay yakin mimpinya bukan tanpa sebab dan juga bukan tanpa hikmah. Ia ingat sesuatu akibat mimpinya itu. Tapi apa boleh buat, lagi-lagi ia raih buku dan penanya. Kesulitan mengungkapkan sesuatu melalui lisan membuatnya lebih nyaman memecah batu ganjalan lewat susunan kata.

“Rabb, aku tak pernah mengungkapkannya bukan berarti aku tak ingin. Aku tak bertutur bukan berarti kuasaku mampu. Aku tak menjerit bukan berarti aku tak sakit. Aku tak protes bukan berarti aku merasa baik-baik saja. Aku diam bukan berarti aku tak membutuhkan-Mu. Aku hanya. Hanya.. Aku hanya malu. Ya, aku malu Rabb. Oh, sungguh Engkau Maha Tahu apa dibalik ini semua. Hingga tepat malam ini ketetapan-Mu membuatku bermimpi begitu perih. Dalam mimpi tersebut, aku berusaha menghindari seseorang yang hendak membunuhku. Dia yang hendak membunuhku itu berhasil menembakkan peluru panasnya pada lenganku, aku tersungkur ke jalan penuh kerikil. Memar dan luka tersayat tajamnya kerikil saja begini sakitnya, terlebih luka tembak itu. Rabb, saat tersungkur itu aku kesulitan bangun untuk berlari, rasa sakitnya tak terperi hingga aku tak sanggup untuk sekedar berdiri. Aku rindu Engkau, tapi aku tak mau mati pasrah ditangan seorang penembak. Duhai Rabb, karena aku takut dia yang hendak membunuhku menghampiriku dan menembakkan lagi peluru panasnya padaku untuk memastikan aku mati, aku terpaksa berpura-pura tak lagi bernyawa. Aku terkapar, menahan nafas dan pasrah dalam ketidakberdayaan. Ternyata berhasil, dia yang hendak membunuhkupun pergi dengan tawa puas karena mengira telah berhasil membunuhku.”

Kay terdiam, dia memandangi sejenak lengan kanannya. Rasa ngilu dan perih menguasai pikirannya, ia merasa tak bisa lupa dengan rasa sakit dalam mimpi itu.

“Rabb, saat ku yakin dia yang hendak membunuhku benar-benar pergi, aku bangun, dengan sisa-sisa tenaga aku susuri jalan untuk pulang. Sepanjang jalan aku melihat orang –orang yang aku kenal didunia nyata. Mereka semua memandangiku yang kusut, berlumur darah dan berjalan terseok-seok. Tapi tak ada yang menghampiriku. Aku rasa merana. Beginikah hidup? ”
Sebotol air mineral disamping tempat tidur Kay hampiri, ia minum dan telan perlahan. Kay menjambak rambutnya lagi, ia merasa sakitnya disini mulai menunjukkan pertanda akan kambuh. Tapi ia terus menulis. Tangan kanannya tak terganggu oleh tangan kirinya yang sibuk menjambak rambut. Pun pikirannya, tak terganggu oleh kerasnya hantaman gigi yang saling beradu.

“Aku kemudian sampai dirumah, aku lihat semua keluargaku.  Darah kian membasahi baju yang kupakai, hampir hilang warna putihnya oleh merah yang terblok-blok tak beraturan. Kukira salah satu dari anggota keluargaku akan terkejut melihatku, ternyata tidak. Wajah mereka terlihat begitu dingin, seolah tak terjadi apa-apa. “Hey, aku hampir mati!!!“ rasanya ingin meneriaki itu tapi urung. Ku kira pula, akan ada salah satu dari mereka yang membawaku ke dokter. Tapi sayang, sebotol betadine dan sebuah kata tanya “kenapa” pun tak aku dapat.”

Kay menarik nafas panjang.

“Rabb, aku sampai pada satu kesimpulan bahwa aku tak akan pernah bisa hidup sedetikpun tanpa pertolongan dan kasih sayang- Mu. Aku sampai pada satu jalan akhir bahwa aku  harus bisa berdikari dan kuat menjalani hidup yang berat ini terlepas dari fitrahku sebagai manusia sosial. Aku tidak boleh mengandalkan manusia lain yang hakikatnya tak memiliki daya dan upaya apapun. Maaf Rabb, tapi hingga detik ini, aku tak pernah berani berbagi sejauh ini selain hanya pada-Mu. Manusia- manusia disekelilingku tak peduli padaku bukan karena mereka tak baik, mereka hanya sedang harus mengurusi perkara-perkara dalam hidupnya. Aku merasa sendiri, tapi aku yakin ini karena Kau ingin aku tetap fokus pada satu keyakinan, bahwa hanya pada-Mu lah cintaku tercurah.”

Kay mengakhiri tulisannya, ia kemudian menggulung kertas tersebut. Raut wajahnya nampak sedikit lebih damai sekarang. Mencoba berbaring, berharap ada angin yang melenakan matanya untuk tidur kembali. Namun, pemandangan di atap kamarnya membuat ia terbangun lagi. “Balon gas!!” Ucapnya lirih.
Balon gas yang tersimpan dikamarnya adalah balon yang ia beli beberapa hari kebelakang dijalan. Ya, seperti biasa. Entah ada angin apa Kay tiba-tiba membelinya. Padahal umurnya sudah akan menginjak 20 tahun. Hmm, sifatnya yang manja dan kekanak-kanakkan terutama saat menghadap diri pada Tuhan berbanding terbalik dengan 2 dasawarsa kehidupannya.
Kay berdiri di tempat tidurnya, meraih balon udara yang terjulur benangnya. Lalu benang tersebut ia ikatkan pada kertas berisikan tulisannya pasca mimpi yang ia gulung belum lama. Kay pun naik ke lantai dua rumahnya, membuka pintu keluar perlahan. Berharap tak ada anggota keluarganya yang bangun.
“Haha.. ko aku pengen ketawa ya? Hmm.. Rabb, aku tak bermaksud mengurangi ke-Maha Tahuan-Mu dengan ini. Aku hanya berfikir, lucu rasanya menerbangkan kertas ini ke awan. Seperti dalam film-film yang berharap surat tersebut kemudian sampai pada Tuhan. Engkau tetap Maha Baik Rabb..” gumamnya.
Kay melepas balon udaranya terbang membawa segala isi hatinya malam itu. Senyum merekah di bibirnya. Kay merasa bahagia, entah karena apa. Mungkin atmosfir saat ia melepas balon udaranya pergi yang membuatnya begini. Tapi, senyumnya perlahan meredup. Kay ingat kakaknya lagi. Yang pergi, dan tak kembali.

Rumah, 4 Maret 2013 19:08




Sumber gambar: www.google.co.id

Minggu, 03 Maret 2013

Cinta?


Rasanya aneh karena tiba-tiba ingin membahas kata tersebut. Populer memang, malah kelewat klasik. Tapi jujur saja, sejauh ini belum pernah saya menyinggungnya barang 1 cm pun. Sederhana, hingga pada akhirnya, tepatnya detik ini pikiran saya dibayang-bayangi sebuah pertanyaan. Apa itu cinta?
Tulisan ini tidak lantas akan membahas panjang lebar tentang hal tersebut. Karena saya sendiri pun kurang begitu mengerti. Dan, menjelaskannya dalam susunan kata bukanlah hal mudah. Setelah direnungkan, mungkin cinta? Adalah apa yang menurut masing-masing insan manusia tafsirkan. Jumlah manusia yang milyaran didunia ini berbanding lurus dengan pengertian cinta itu sendiri. Hingga maknanya yang luas tak bisa kita sempitkan hanya sekedar rasa pada lawan jenis. 

Tak ada titik temu dalam tulisan ini. Tak ada target pencapaian pesan. Sudahlah..

Apa benar cinta demikian?
Apapun kekurangannya, selalu bisa diemban.
Apapun celanya, tak pernah jadi beban.
Betapapun sakitnya, selalu bisa ditahan.

Apa benar cinta begitu?
Sepedih apapun selalu ingin menyatu.
Sepahit apapun tetap teguh berpadu.
Semerana apapun tak membuat hati kelu.

Apa benar cinta segalanya?
Hingga berjuta jala tak bisa menjebaknya.
Hingga tak terkira wangi aromanya.
Hingga ajal menjelang jadi alasan satu-satunya.

Apa benar cinta demikian?
Apa benar cinta begitu?
Apa benar cinta segalanya?
Jika benar, apa ini cinta?