Jumat, 30 September 2011

Excellent Preacher, Cerdas Spiritual Cerdas Sosial


Agar Tidak Jatuh Kemudian
Oleh: Vissiana Rizky Sutarmin


“Nahnu du’at qobla kully syai’in”
Sebagai seorang insan akademika yang bergelut di dunia dakwah dan komunikasi, tentu kita sudah tidak asing lagi dengan ungkapan diatas. Ya, kita adalah Da’i sebelum menjadi apapun. Sebagai seorang manusia, kita tidak bisa mengelak dari tugas dakwah dan berdalih bahwa dakwah hanyalah pekerjaan Kyai, Syekh ataupun Ustadz. Sebaliknya, kita harus bisa menyadari, menerima serta melaksanakaan tugas mulia itu dengan baik dan amanah.
Menurut Dudy Imadudin Effendy, M.Ag[1], seorang da’i bukan hanya seorang yang “ahli” agama, berdiri memberikan khutbah dibalik mimbar ataupun seseorang yang berpakaian khas muslim ala Aa Gym atau Ustadz Maulana. Jauh lebih urgent dari itu, adalah niat yang semata-mata hanya karna Allah. Sehingga, baik itu seorang dokter, guru, mahasiswa ataupun pedagang kaki lima, jika tujuannya menebarkan kebaikan dan manfaat semata-mata hanya karna Allah, maka merekapun layak disebut seorang Da’i.
Menjadi seorang da’i tidaklah mudah, akan banyak rintangan dan cabaran yang menghadang. Itu semua merupakan proses khas dari dakwah itu sendiri agar kemudian dapat terlihat, siapa yang sungguh-sungguh berdakwah dan siapa yang lemah, tidak mampu bertahan bahkan hilang dari kancah pertarungan. Lalu, bagaimana agar seorang da’i bisa melalui proses seleksi alam tanpa tereliminasi serta tetap kokoh istiqomah dijalan dakwah?
Agar Tidak Jatuh Kemudian: Kenali Penyebab-penyebab Tasaquth[2]
“Kebaikan yang tidak terencana, akan terkalahkan oleh kejahatan yang terencana.” Ungkapan ini mungkin sudah terlalu sering masuk kedalam telinga kita, namun jarang dari kita benar-benar mengamalkan pelajaran yang bisa diambil dari ungkapan tersebut. Dalam kancah dakwah, seorang da’i haruslah merencanakan langkah- langkah strategis serta amunisi-amunisi penting untuk bertahan dalam menghadapi berbagai kemungkinan yang  akan melemahkan kita dijalan dakwah . Salah satunya adalah dengan mengenali penyebab-penyebab tasaquth.
Dengan mengenali apa-apa saja yang dapat membuat kita terjatuh dari kancah dakwah, diharapkan kita bisa lebih siap dalam menghadapi ujian tersebut. Dengan kesiapan menghadapi ujian yang menghadang, tentunya seorang da’i akan lebih kuat dan tidak begitu saja gugur dalam dakwah.
Fathi Yakan dalam bukunya “Yang Berjatuhan di Jalan Dakwah”, membagi penyebab tasaquth dalam tiga sumber. Pertama, penyebab tasaquth yang bersumber dari pergerakan, penyebab tasaquth yang bersumber dari individu dan penyebab tasaquth yang bersumber dari luar (eksternal).
Penyebab tasaquth yang bersumber dari individu dapat dikatakan sebagai sumber paling besar yang menyebabkan gugurnya para da’i dari kancah dakwah. Adapun sebagian dari penyebab tasaquth yang berasal dari individu tersebut adalah watak seorang da’i yang indisipliner dimana seorang da’i tidak memiliki kesiapan untuk memikul beban-beban structural, tidak mampu mengatur kehidupannya dan tidak mampu berorganisasi. Sebab-sebab individu lainnya yakni seorang da’i takut pada kematian dan kemiskinan, bersikap terlalu ekstrem dan berlebihan sehingga tidak menerima sikap moderat dan membebani diri melebihi kemampuan, sikap mempermudah dan menganggap enteng, ghurur[3] dan senang tampil, cemburu terhadap orang lain yang notabene berlari lebih cepat dan lain-lain.
Selanjutnya penyebab tasaquth yang bersumber dari luar (eksternal). Sebab-sebab eksternal merupakan salah satu factor penyebab bergugurannya sebagian da’i di jalan dakwah. Secara umum, sebab-sebab tersebut diantaranya adalah tekanan tribulasi yakni penyiksaan fisik, tekanan keluarga, tekanan lingkungan yang memberi pengaruh negative lebih banyak, tekanan dari figuritas dan sebagainya.
Adapun sebab-sebab yang bersumber dari pergerakan diantaranya, lemahnya aspek tarbiyah sehingga pribadi da’i menjadi kering dan sepi dari kehidupan Robbani serta kesegaran ruhani. Selanjutnya yakni tidak proporsionalnya pergerakan dalam memposisikan anggota, lemah dalam kontrol, kurang sigap dalam mnyelesaikan persoalan, konflik internal, pemimpin yang lemah dan masih banyak lagi.
Kita adalah Milik Masyarakat, Be Strong!
Menjadi seorang da’i pasti akan dibenturkan dengan kehidupan masyarakat. Tentunya kita tahu bahwa ketika kita terjun kedalam mayarakat, kita akan menemui keragaman dan perbedaan yang terkadang menjadi masalah kalau-kalau kita tidak cerdas menghadapinya. Dengan mengenal sebab-sebab tasaquth, kita sebagai da’i hendaknya lebih mempersiapkan daya imunitas kita, bukan malah mundur dan gugur sebelum bertarung.
Adalah sosok-sosok da’i yang kuatlah yang dibutuhkan umat ini. Dengan dibenturkannya seorang dai dalam kehidupan masyarakat, menuntut da’i agar lebih kuat dalam mengarungi arus deras kehidupan, ombak dahsyat perbedaan, angin kencang penolakan dan cerdas mengembangkan metode dakwah agar sesuai dengan kondisi, karakter serta kebutuhan masyarakat. Maka dari itu , be strong! Yakinlah, bahwa sesungguhnya peluh, lelah, air mata dan darah tidak akan luput dari penilaian Allah SWT.
Jangan lupakan Ruhiyah!
Seorang da’i yang excellent, selain harus cerdas secara sosial sehingga tidak ibadah oriented dan memiliki moral yang dapat menjadi teladan serta membuat mad’u nyaman menerima pesan dakwah, hendaknya juga dapat memberikan porsi serius dalam aspek ruhiyah.
Sebagai seorang da’i, kita harus pula memperhatikan kecerdasan spiritual dengan terus membasahi ruhiyah dan tarbawiyah kita dengan dzikir kepada Allah. Jangan sampai seorang da’i rapuh imannya, hampa jiwa dan ruhaninya sehingga pribadi da’i menjadi kering dan sepi dari kehidupan Robbani serta kesegaran ruhani. Ini tentu akan berpengaruh pada proses dakwah itu sendiri. Da’i yang kering rohaninya mungkin akan tetap didengar oleh mad’u. Namun, apakah dengan hati yang kering kita dapat menyentuh hati mad’u kita? Hingga pada akhirnya, pesan dakwah hanya sekedar masuk kuping kiri, keluar kuping kanan. Naudzubillah.
Semoga kita sebagai da’i dapat lebih siap dan kuat menghadapi ujian di jalan dakwah ini. Karna berjuang di jalan dakwah ibarat berjalan di tanjakan, dimana syeitan akan terus berusaha menarik tubuh kita agar tergelincir dan jatuh terperosok. Semoga kita dapat menjadi da’i yang excellent, yang memiliki kecerdasan spiritual serta kecerdasan sosial dan tetap istiqomah berjuang dalam dakwah.
Wallahu’alam bishowab..


[1] Dosen Mata Kuliah Psikologi Da’i di Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam
[2] Berguguran dijalan dakwah
[3] Tertipu oleh diri sendiri

Tuhan, Aku Bingung




Aku sering mendengar tagline ini, “Don’t judge book by cover”. Sering sekali, saat diskusi, debat atau sekedar ngobrol ringan dengan teman. Kita tidak boleh menilai sesuatu hanya dari tampilannya saja, isi seyogyanya lebih penting. Tapi aku bingung, apakah yang berpenampilan baik pasti baik pula hatinya? Apakah yang berpenampilan buruk, buruk pula hatinya? Apakah yang berpenampilan baik bisa jadi buruk hatinya? Atau yang berpenampilan buruk bisa saja baik hatinya?
Sempat aku menemui orang-orang yang begitu luar biasa. Segala tentangnya aku salutkan. Kecerdasannya, kesungguhannya belajar, penampilannya yang baik, tutur katanya yang santun, kesabarannya mengarungi ujian, ketabahannya menerima segala kekurangan dll. Tapi, setelah dua tahun aku merasa ada sesuatu yang disembunyikan. Ya, sisi gelap. Wajar memang, menurut ku orang ini tidak salah. Karna sepertinya memang sudah jadi tabiat manusia untuk menutupi segala kekurangan dan menonjolkan kelebihan. Manusiawi sekali.
In other side, aku menemui orang yang tampilannya sangat berantakan, apa adanya, tidak dibuat-buat, bertingkah biasa saja. Tapi setelah beberapa lama sosoknya membuat aku malu. Ide-idenya ternyata brilian, kebaikannya pada sesama begitu luar biasa, mampu melakukan perbaikan pada sisi-sisi yang di lupakan para  “pejuang” yang mengaku ingin melakukan perubahan, dll.
Mungkin disini letak keluarbiasaannya, meski aku bingung tapi aku yakini ini semua bukan tanpa hikmah. Memang selalu ada kejutan-kejutan dari Tuhan untuk menguji kita. Terkadang sesuatu diluar “teks” membenturkan kita pada realitas. Sama halnya seperti “mengapa terjadi, kedua orangtuanya shaleh tapi anaknya salah?” atau “ko bisa ya, orang tuanya hidup di dunia penuh kegelapan tapi anaknya shaleh?”. Padahal baik secara teologis maupun rasional hal itu mungkin aneh. 
Tapi itulah seninya. Tuhan mengajarkan kita untuk bijak. Bahwa apa yang mungkin akan dihadapi sangat jauh berbeda dengan apa yang diujar oleh “teks”.  Sungguh, hanya Tuhan yang Maha Tahu isi hati setiap hamba-Nya. Semoga kita tidak terjebak pada prasangka buruk dan salah menilai. Semoga kita bisa bijak menghadapi apapun kemungkinan yang terjadi sehingga tidak adalagi saling menyalahkan oranglain dan membenarkan diri sendiri.
Tuhan, beritahu aku mana yang benar-benar baik. Izinkan aku menjadi temannya. Meski aku sendiri pun tak tahu diri ini benar atau tidak. Tuhan, setiap insan Kau anugerahkan lebih dan kurang. Begitupun aku. Aku tidak akan menjudge seseorang yang punya sisi gelap. Karna bisa jadi (pasti) akupun memilikinya. Hanya jujur, aku tidak suka orang yang berpura-pura benar, membagus-baguskan diri, berbeda antara kenyataan dengan hati. Tolong jangan pertemukan aku dengan orang yang seperti itu. Dan aku berlindung atas segala kemunafikan, berlindung atas segala kesalahan persepsi, berlindung atas kebingungan yang membuat ku berpikir agak “radikal” malam ini. Tuhan, aku berlindung pada-Mu. Meski aku mungkin belum benar :(

"Wahai sekalian orang yang beriman, jauhilah olehmu banyak prasangka, karena sebagian besar sangka-sangka adalah dosa, dan jangan kamu meng­intip-intip, dan jangan mengumpat (gunjing) setengah terhadap yang lain. Sukakah kamu memakan daging saudaramu yang telah mati, niscaya kamu jijik terhadapnya. Dan takwalah kepada Allah. Sesungguhnya Tuhan Allah adalah pemberi taubat dan amat kasih-sayang. " (al-Hujurat: 12)

“…Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati.” (Asy-Syuro: 24)

Wallahu’alam..


Cibiru, 30 September 2011 23:38
Vissiana Rizky Sutarmin