Selasa, 25 Februari 2014

Diam- diam Aku Sombong




Ini soal hati yang letaknya tersembunyi. Hingga rasanya tak ada yang berhak menjustifikasi hati kecuali yang punya hak, Allah semata. Saat orang lain bilang, “kamu begitu baik hati, cerdas dan unik.” Aku katakan pada mereka bahwa semua itu biasa saja, aku bukan apa- apa. Rupanya ada senyum kecil yang tertahan di bibir, ada diam beberapa detik dalam hati. Ayo mengaku! Jangan- jangan, diam- diam aku sombong.

Ini soal hati yang letaknya tersembunyi. Apa kita benar- benar orang yang “benar”? Atau malah termasuk orang yang lain dihati lain disikap? Saat kita jadi manusia berguna, banyak membantu orang lain. Tanpa orang lain tahu kita banyak berbuat kebaikan, banyak buat prestasi. Lalu datanglah seorang bermulut besar bicara soal “jadi manusia berguna”. Kembali diam beberapa detik dalam renungan, merasa diri sudah talk less do more. Ayo mengaku! Jangan- jangan, diam- diam aku sombong.

Ini soal hati yang letaknya tersembunyi. Karena ingin jadi yang terbaik dimata Tuhan, aku berusaha menjalani kewajiban yang aku mampu semaksimal mungkin.  Seorang teman yang luar biasa Islami nan sholeh bicara secara tak langsung soal pendapatnya dengan menggebu- gebu. Katanya seseorang telah melenceng, pakaiannya jadi bla bla bla, sikapnya jadi bla bla bla, fikirannya jadi bla bla bla. Aku sadar diri semua bla bla bla itu ada dalam diriku saat ini. Kembali diam beberapa detik dalam renungan, aku tahu kekurangan mereka dan aku merasa bisa lepas diri untuk tidak melakukan hal yang sama. Sedetik aku rasa diriku tak seburuk itu. Ayo mengaku! Jangan- jangan, diam- diam aku sombong.

Mencari seribu alasan untuk membenarkan diri. Teruntuk sikap diri pada segala aspek dalam hidup, ayo mengaku! Jangan- jangan, diam- diam aku sombong.

Angkuh dalam kerendahan hati, bersikap ‘sok’ diam mengalah dalam balutan kritik, tinggi hati dalam perbaikan diri. Teruntuk penempatan diri pada segala aspek dalam hidup, ayo mengaku! Jangan- jangan, diam- diam aku sombong.

Hanya Allah yang Maha Membimbing langkah setiap hamba-Nya. Aku harap segala hal tentang angkuh dan tidak ikhlas dapat menjauh. Ya Allah, bantu bimbinglah aku. Karena diam- diam, aku sombong.

Astagfirullah..

Minggu, 23 Februari 2014

Sudut Pandang #2




Jika saja tak ingat bahwa aku akan mati, sudah kucari rumahnya, kuhujani dia dengan caci maki. Aku tak perlu pikir panjang, akan aku habiskan semua sisa uang, kusewa pengacara untuk bantuku berjuang. Aku tak perlu peduli harus berurusan dengan polisi, toh semua demi harga diri, yang telah dia injak- injak hingga sakitnya tak terperi.

Oh, kiranya aku masih takut mati. Bersabarlah wahai diri..
***

Sudah sekuat tenaga kutahan diri. Seingatku aku bahkan tak pernah memarahi siapapun, kecuali adik lelakiku. Aku hampir selalu bisa menahan diri dari amarah, kecuali pada adik lelakiku, satu- satunya manusia didunia ini yang pernah melihatku marah besar. Jujur, aku tidak mengharap amarahku pada dia yang menebar jala fitnah jadi amarah besar keduaku, yang tak akan berujung baik kecuali penyesalan.

Baik, kucoba berfikir ulang. Seseorang berkata “Ingat- ingatlah hal buruk apa saja yang akan kamu lalui jika kamu mengikuti amarahmu.” Aku tau, aku harus bijak bahkan pada diriku sendiri. Aku harus duduk tenang, sejenak mencatat kemungkinan- kemungkinan terburuk yang akan terjadi.
***

Catat ini!

Pertama, aku akan menghabiskan banyak waktu. Aku mungkin akan kurang tidur. Aku mungkin akan lupa bahwa aku perlu makan. Dan bahkan, aku mungkin akan lupa pada orang- orang disekitarku. Autis. Berkutat hanya pada satu perkara, menjebloskannya ke penjara! Oh tidak, ini bahkan terlalu buruk untuk sekedar dibayangkan.

Kedua, aku akan menghabiskan banyak tenaga. Ya, aku akan merusak fisikku sedikit demi sedikit. Bukankah butuh perjuangan yang berat untukku agar bisa sehat? Sakitku bahkan belum sembuh total. Lalu sekarang, aku harus buang- buang energi sehatku hanya untuk satu perkara, menjebloskannya ke penjara! Oh tidak, ini bahkan terlalu pedih untuk sekedar dipikirkan.

Ketiga, aku akan menghabiskan banyak uang. Loh, memangnya kenapa? Begitu bukan adanya? Lapor polisi, sewa jasa pengacara, bahkan sewa jasa pengawal kalau-kalau terjadi hal yang tidak terduga. Untuk itu semua butuh uang bukan? Baik, uang memang kupunya. Tapi bagaimana dengan biaya CT Scan- ku, obat- obat, biaya ke dokter yang sudah pasti tidak sedikit dan jujur saja jauh lebih penting dan mendesak. Lalu sekarang, aku harus buang- buang uang hanya untuk satu perkara, menjebloskannya ke penjara! Oh tidak, ini bahkan terlalu memuakkan untuk sekedar diimpikan.

Akankah ku urungkan?
***
Isi kepalaku jauh lebih dingin sekarang. Banyak yang berjasa dibalik ini semua, salah satunya adalah waktu. Waktu telah banyak membantuku untuk bisa tenang, menurunkan tensi secara perlahan. Hingga aku tak sedikitpun merasa terpaksa. Semua berlalu begitu alamiah. Hingga aku merasa tak berminat lagi membahas soal amarah.

Aku tahu aku telah kembali, menjadi seseorang yang sulit sekali untuk marah. Kuharap demikian. Aku bersyukur, Tuhan.

Hatiku sudah jauh lebih lapang sekarang. Aku sadar banyak hal baik dari apa yang terjadi. Banyak sekali. Hingga akhirnya yang aku bisa hanyalah menunduk malu, malu pada Tuhan. Oh, ampunilah aku.

Aku harus duduk tenang lagi, sejenak mencatat banyaknya hal- hal baik yang aku terima. Segalanya lebih dari sekedar yang aku catat. Ini hanya sebagai pengingat, agar aku pikir ribuan kali sebelum berprasangka buruk pada-Nya.
***

Catat ini!

Pertama, ada banyak kesalahan yang aku atau keluargaku perbuat. Dan hal tersebut mungkin tak akan pernah bisa ditebus dengan kebaikan sehebat apapun. Hingga akhirnya Tuhan baik hati mau memberi kami kesempatan untuk sakit fisik dan perih hati semata- mata demi menggugurkan dosa- dosa kami. Semoga Allah mengampuni dosaku dan dosa kedua orangtuaku.

Kedua, ada banyak khilaf yang sadar atau tidak sadar telah aku dan keluargaku perbuat. Bukankah baik jika kemudian ujian datang? Hingga pada akhirnya kami sadar meluangkan waktu untuk introspeksi diri. Ada banyak sekali kelalaian. Lalai shalat tepat waktu, lalai sedekah, lalai menjaga perasaan orang lain, dan banyak kelalaian- kelalaian lainnya. Semoga Allah mengampuni dosaku dan dosa kedua orangtuaku.

Ketiga, mungkin kita terlalu mengedepankan ego kita selama ini. Hingga lupa menjaga sikap masing- masing. Kedekatan mulai renggang, kita sama- sama sibuk dengan urusan sendiri. Bukankah baik jika kemudian ujian datang? Hingga pada akhirnya kita kembali bersatu, duduk sejajar, berbagi, berfikir bersama, menyiapkan kekuatan terbaik. Kita jadi makin dekat sekarang, kita makin saling faham, kita makin saling sayang. Ini keluarga yang sempurna karena ketidaksempurnaanya. Terimakasih Tuhan.

Keempat, hingga pada akhirnya waktu pun membuktikan. Jalan kebenaran perlahan mulai terlihat. Bunda, ayah, betapa malunya diri ini. Seharusnya kita sadar diri sejak awal, kebenaran cepat atau lambat akan terbuka! Yang benar akan memang! Dan Tuhan telah buktikan itu, bahkan dengan cara yang sama sekali tak pernah kita duga. Malu rasanya pernah terkuasai emosi, meski aku manusia biasa, aku tetap malu. Maha Suci Allah. Semoga Ia mengampuni dosaku dan dosa kedua orangtuaku.

Biarlah ini jadi pengingat kecil. Karena kebaikan Tuhan tak akan pernah cukup untuk dicatat.
Biarlah ini jadi pengingat kecil. Agar kita semua sentiasa lebih baik setiap waktunya.

Biarlah..