Jika
saja tak ingat bahwa aku akan mati, sudah kucari rumahnya, kuhujani dia dengan
caci maki. Aku tak perlu pikir panjang, akan aku habiskan semua sisa uang,
kusewa pengacara untuk bantuku berjuang. Aku tak perlu peduli harus berurusan
dengan polisi, toh semua demi harga diri, yang telah dia injak- injak hingga
sakitnya tak terperi.
Oh,
kiranya aku masih takut mati. Bersabarlah wahai diri..
***
Sudah
sekuat tenaga kutahan diri. Seingatku aku bahkan tak pernah memarahi siapapun,
kecuali adik lelakiku. Aku hampir selalu bisa menahan diri dari amarah, kecuali
pada adik lelakiku, satu- satunya manusia didunia ini yang pernah melihatku
marah besar. Jujur, aku tidak mengharap amarahku pada dia yang menebar jala fitnah
jadi amarah besar keduaku, yang tak akan berujung baik kecuali penyesalan.
Baik,
kucoba berfikir ulang. Seseorang berkata “Ingat- ingatlah hal buruk apa saja
yang akan kamu lalui jika kamu mengikuti amarahmu.” Aku tau, aku harus bijak
bahkan pada diriku sendiri. Aku harus duduk tenang, sejenak mencatat
kemungkinan- kemungkinan terburuk yang akan terjadi.
***
Catat
ini!
Pertama,
aku akan menghabiskan banyak waktu. Aku mungkin akan kurang tidur. Aku mungkin
akan lupa bahwa aku perlu makan. Dan bahkan, aku mungkin akan lupa pada orang-
orang disekitarku. Autis. Berkutat hanya pada satu perkara, menjebloskannya ke
penjara! Oh tidak, ini bahkan terlalu buruk untuk sekedar dibayangkan.
Kedua,
aku akan menghabiskan banyak tenaga. Ya, aku akan merusak fisikku sedikit demi
sedikit. Bukankah butuh perjuangan yang berat untukku agar bisa sehat? Sakitku bahkan
belum sembuh total. Lalu sekarang, aku harus buang- buang energi sehatku hanya
untuk satu perkara, menjebloskannya ke penjara! Oh tidak, ini bahkan terlalu
pedih untuk sekedar dipikirkan.
Ketiga,
aku akan menghabiskan banyak uang. Loh, memangnya kenapa? Begitu bukan adanya? Lapor
polisi, sewa jasa pengacara, bahkan sewa jasa pengawal kalau-kalau terjadi hal
yang tidak terduga. Untuk itu semua butuh uang bukan? Baik, uang memang
kupunya. Tapi bagaimana dengan biaya CT Scan- ku, obat- obat, biaya ke dokter
yang sudah pasti tidak sedikit dan jujur saja jauh lebih penting dan mendesak. Lalu
sekarang, aku harus buang- buang uang hanya untuk satu perkara, menjebloskannya
ke penjara! Oh tidak, ini bahkan terlalu memuakkan untuk sekedar diimpikan.
Akankah
ku urungkan?
***
Isi
kepalaku jauh lebih dingin sekarang. Banyak yang berjasa dibalik ini semua,
salah satunya adalah waktu. Waktu telah banyak membantuku untuk bisa tenang,
menurunkan tensi secara perlahan. Hingga aku tak sedikitpun merasa terpaksa. Semua
berlalu begitu alamiah. Hingga aku merasa tak berminat lagi membahas soal
amarah.
Aku
tahu aku telah kembali, menjadi seseorang yang sulit sekali untuk marah. Kuharap
demikian. Aku bersyukur, Tuhan.
Hatiku
sudah jauh lebih lapang sekarang. Aku sadar banyak hal baik dari apa yang
terjadi. Banyak sekali. Hingga akhirnya yang aku bisa hanyalah menunduk malu,
malu pada Tuhan. Oh, ampunilah aku.
Aku
harus duduk tenang lagi, sejenak mencatat banyaknya hal- hal baik yang aku terima.
Segalanya lebih dari sekedar yang aku catat. Ini hanya sebagai pengingat, agar
aku pikir ribuan kali sebelum berprasangka buruk pada-Nya.
***
Catat
ini!
Pertama,
ada banyak kesalahan yang aku atau keluargaku perbuat. Dan hal tersebut mungkin
tak akan pernah bisa ditebus dengan kebaikan sehebat apapun. Hingga akhirnya
Tuhan baik hati mau memberi kami kesempatan untuk sakit fisik dan perih hati
semata- mata demi menggugurkan dosa- dosa kami. Semoga Allah mengampuni dosaku
dan dosa kedua orangtuaku.
Kedua,
ada banyak khilaf yang sadar atau tidak sadar telah aku dan keluargaku perbuat.
Bukankah baik jika kemudian ujian datang? Hingga pada akhirnya kami sadar meluangkan
waktu untuk introspeksi diri. Ada banyak sekali kelalaian. Lalai shalat tepat
waktu, lalai sedekah, lalai menjaga perasaan orang lain, dan banyak kelalaian-
kelalaian lainnya. Semoga Allah mengampuni dosaku dan dosa kedua orangtuaku.
Ketiga,
mungkin kita terlalu mengedepankan ego kita selama ini. Hingga lupa menjaga
sikap masing- masing. Kedekatan mulai renggang, kita sama- sama sibuk dengan
urusan sendiri. Bukankah baik jika kemudian ujian datang? Hingga pada akhirnya
kita kembali bersatu, duduk sejajar, berbagi, berfikir bersama, menyiapkan
kekuatan terbaik. Kita jadi makin dekat sekarang, kita makin saling faham, kita
makin saling sayang. Ini keluarga yang sempurna karena ketidaksempurnaanya.
Terimakasih Tuhan.
Keempat,
hingga pada akhirnya waktu pun membuktikan. Jalan kebenaran perlahan mulai
terlihat. Bunda, ayah, betapa malunya diri ini. Seharusnya kita sadar diri
sejak awal, kebenaran cepat atau lambat akan terbuka! Yang benar akan memang! Dan
Tuhan telah buktikan itu, bahkan dengan cara yang sama sekali tak pernah kita
duga. Malu rasanya pernah terkuasai emosi, meski aku manusia biasa, aku tetap
malu. Maha Suci Allah. Semoga Ia mengampuni dosaku dan dosa kedua orangtuaku.
Biarlah
ini jadi pengingat kecil. Karena kebaikan Tuhan tak akan pernah cukup untuk
dicatat.
Biarlah
ini jadi pengingat kecil. Agar kita semua sentiasa lebih baik setiap waktunya.
Biarlah..