Senin, 16 September 2013

I Hope So





Banyak manusia yang mengalami kesulitan untuk menggapai apa yang menjadi harapan. Harapannya pun bermacam- macam bentuk. Ada yang berharap punya rumah, mobil, jabatan, kesuksesan bisnis, keberhasilan pendidikan, jodoh yang baik, kesehatan atau bahkan sesuap nasi. Dan apapun harapan itu, boleh jadi sangat murah dan mudah bagi kita tapi begitu mahal dan sulit bagi orang lain. Hal tersebut berlaku kebalikan.

Hampir semua orang yang saya temui memiliki sesuatu yang amat sangat mahal dimata saya, “Teman”. Kadang saya rindu masa kecil saya. Masa kecil yang tidak pernah saya fikir akan sangat berarti dan sangat saya rindukan saat ini. Tidak semua episodenya. Tapi saat- saat dimana saya merasa punya teman sangat saya harapkan bisa terulang.

Apa kabarnya ya teman- teman kecil saya? Teh Yeyen, Atep, Uji, Jepi, Bang Dika, Asep, Sandi. Sudah hampir 15 tahun, tapi saya masih ingat betul bagaimana saya dan teman- teman saya bermain, berbagi permen dan pergi sekolah bersama. Masih lekat pula dalam ingatan ketika saya dan teman saya bermusuhan pagi hari, dan kemudian berdamai disore harinya. Hmm, peaceful.

Andai saat itu saya sadar bahwa momen- momen tersebut akan sangat mahal saat ini, mungkin saya tidak akan melepaskannya. Tidak akan menyiakannya hanya karena pindah rumah, pindah sekolah atau pindah kota sehingga akhirnya kini saya tidak tahu teman- teman saya ada dimana dan dalam keadaan apa.

Teman- teman seperti mereka belum saya temukan lagi. Andai boleh berharap, saya ingin suatu hari dipertemukan kembali. Sehingga kesalahan yang pernah saya perbuat dapat saya perbaiki, dan kebahagiaan yang pernah terjadi bisa terulang lagi. Saya tidak peduli jika ini disebut “memungut”. Tapi semoga saya diberi kesadaran sedini mungkin. Sehingga kehilangan sesuatu yang berharga, tak akan lagi terulang. I hope so..


*The image taken from google

Sedikit Respect




“Tak ada satupun manusia di muka bumi yang tak ingin dihargai..” (Musikimia)

Seperti lirik dari lagu Musikimia berjudul “Apakah Harus Seperti Ini” diatas, ya tak ada satupun manusia di muka bumi yang tak ingin dihargai. Harga dari sedikit rasa saling menghargai begitu mahal, bahkan terlampau mahal di era ini, terlebih ditempat ini, Indonesia. Dengan budaya ketimuran yang begitu kental menyemat pada perwajahan Indonesia, rasa saling menghargai tentu jadi salah satu nilai utama, seharusnya. Namun kenyataannya tidak selalu demikian.

Barat yang digadang- gadang menguasai hal- hal negatif tentang kehidupan mulai dari hedonisme, atheisme, kapitalisme, liberalisme hingga isme- isme lainnya seolah tak pantas dipandang sebagai cerminan. Memang, banyak contoh tak baik dari barat, misalnya saja dari kehidupan bebas tanpa aturan yang sering mereka jalankan. Tapi bagaimana dengan etos kerja, ketepatan waktu, dan sikap saling menghargai? Tidakkah kita ingin belajar dari mereka tentang apresiasi? Terutama tentang apresiasi terhadap sesama manusia.

Heran, mana mungkin Indonesia yang “Bhineka Tunggal Ika” ini dihuni oleh masyarakat yang kebanyakan kurang bisa menghargai satu sama lain. Tapi, semoga ini hanyalah penampakan dari sekedar permukaan. Semoga kekerasan atas nama golongan, suku, budaya, agama atau suporter sepakbola yang beberapa waktu kebelakang pernah terjadi hanyalah setitik noktah pada susu sebelanga.

Ingin rasanya, kelak negeri ini menjadi negeri yang hakiki. Hakiki dengan nilai yang diusungnya. Sehingga semboyan tak lagi jadi hiasan melainkan menghujam dalam jiwa dan teraplikasikan pada perbuatan. Saling menghargai. Putih menghargai hitam, kaya menghargai miskin, tinggi menghargai rendah. 

Jangan ada lagi pertengkaran hanya karena beda persepsi. Jangan ada lagi pertikaian hanya karena beda golongan. Jangan ada lagi perkelahian hanya karena rasa diri paling benar. Segala hal bisa dikomunikasikan dengan baik. Pasti ada alasan yang dapat dijadikan sebab mengapa kedamaian mesti tercipta dimanapun. Mungkin karena kita satu agama, atau mungkin karena kita satu negara. Atau mungkin juga, karena kita sama- sama manusia.