#EdisiGeje
Ada yang bilang autis itu kesulitan berkomunikasi dan kesulitan
mempercayai sekitar. Ada juga yang bilang autis itu sibuk dengan dunianya
sendiri. Awalnya menurut saya, saya tidak autis, normal-normal saja. Tapi
hantaman sikap dan kata dari para makhluk berperasaan nyatanya membuat saya
termakan juga. Ya, cepat atau lambat, mau tidak mau saya akui juga bahwa saya
memang punya sikap aneh yang berbeda dari teman-teman.
Awalnya saya selalu berusaha kuat menghadapi hidup yang kian
“manis” ini. Saya merasa apa yang saya lakukan biasa saja, dalam artian tidak
ada yang berbeda. Tapi semakin usia ini bertambah keganjilan itu kian terasa.
Terutama akhir-akhir ini. Gejala yang paling sering muncul itu sesak di dada.
Datang tiba-tiba, kemudian, sakit. Apa ini yang disebut sakit hati?
Suatu hari seorang teman dengan cablaknya bilang, “Lu tuh
ya, ibarat nanem bom waktu didalam jiwa lu! Mau kgak mau, cepet ato lambat,
besok apa sekarang ntu bom bakalan meledak juga! ”. Haduh, itu orang dapet
ilham dari mana coba sampe bisa bilang kayak gitu. Tentu saja saya
menyangkal dan bersikukuh bahwa saya baik-baik saja. Saya juga bilang bahwa dia
itu sok tahu, hehe. Eh, dia malah makin kekeuh, “belajar percaye
ame orang dong, klo lu gitu terus, ntu bom bakalan meledak dan bisa jadi
nyakitin orang yang ade disekitar lu!”
Ah, lebih baik kembali ke pembahasan inti dari pada mengingat-ingat
perkataannya yang berlebihan. Tapi, terimakasih atas masukkannya. Teruntuk
teman saya yang satu ini, dimanapun sekarang kamu berada semoga senantiasa
Allah tunjukan jalan yang benar.
Sejak kecil saya memang terbiasa menyimpan segala hal sendiri. Ya,
saya jarang bercerita. Pernah sesekali, namun itupun hanya cerita-cerita biasa
terkait kejadian lucu yang dialami, berbagi tips saat di razia oleh polisi,
atau cerita tentang makanan disebuah resto yang rasanya enak. Hanya seputar
itu, jarang sekali soal pribadi.
Tapi, suatu hari saya pernah bercerita agak pribadi ke seorang
teman, saat itu saya bercerita tentang perasaan saya pada hidup. Saya curahkan
semua, dari mulai penyakit yang saya idap, kondisi keluarga, dll. Saat itu saya
tetap memberikan banyak batasan, dalam artian cerita saya padanya masih dalam
tahap “yang tersamarkan”. Namun, ternyata saya tidak merasa nyaman sama sekali.
Meski banyak orang bilang dengan berbagi cerita kita akan lebih tenang
menghadapi semua masalah. Tapi tidak yang saya rasakan. Saya merasa bercerita
tak ada gunanya. Malah perasaan tak enak dan menyesal yang muncul. Sudahlah,
pendam saja. Apapun itu.
Ok, singkat cerita akhirnya saya jalani hidup ini tanpa bercerita
pada orang lain. Saya sakit, mengalami kecelakaan, mengalami massa kritis di
rumah sakit, mengalami kejadian pahit, diperlakukan buruk oleh orang lain
sampai suatu hari saya merasakan ada perasaan aneh terhadap seseorang pun tidak
saya bagi pada siapapun. Saya hanya berani berkeluh kesah pada Allah, karena
saya tahu Dia Maha Baik, Maha Mengerti, Maha Pengampun dan tentunya Maha
Menjaga Rahasia. Sehingga hanya bercerita pada-Nya lah saya tidak menemukan
penyesalan.
Kita punya Allah, maka sebetulnya tidak ada yang perlu kita
khawatirkan. Tapi saya sendiri kian hari kian sadar, bahwa saya hanyalah
manusia. Sesekali sayapun ingin berbagi pada orang yang saya percaya. Ya, saya
perlu sahabat, meski belum menemukannya.
Saya jarang sekali mengungkapkan lewat lisan terkait isi hati saya
pada Allah. Saya hanya berkata dalam hati sambil sesekali meneteskan air mata.
Biarlah saya tetap di “dunia” ini, dimana saya bisa belajar mengungkapkan isi
hati saya. Biarlah “dunia” ini menjadi sahabat saya. Biarlah saya memberi tahu
Allah semua lewat “dunia” ini, meski tanpa demikianpun dengan kebesaran-Nya
Allah Maha Tahu. Tolong, jangan lagi menghina saya, memojokkan saya, meremehkan
saya apalagi mengusik persahabat saya dengan “dunia” ini.
Saya mungkin tak dapat bertahan lebih lama lagi, maka izinkanlah
saya menjadi orang normal tanpa gangguan jiwa. Izinkan saya membagi rangkaian
cerita yang mungkin tak penting ini. Izinkan saya berbicara tentang seseorang
yang baik hatinya disini.
Ya Rabb, terimakasih atas ide ini. Masih tetap hamba coba meski
kebimbangan tetap ada. Ini hanyalah sebuah ikhtiar, semoga Engkau senantiasa
meridhoinya. Izinkan “dunia” ini menjadi sosok sahabat yang baik. Izinkan hamba
belajar bicara.
Blogku sayang..Biarlah ia menjadi instrumen..
Instrumen kehidupan..
Selasa, 5 Juni 2012 22: 03