Bulan
ini memang sok sibuk. Semua berkolaborasi jadi satu, bersekutu menyerbu. Memang
bukanlah hal yang tabu, meski diri tetap tak mau tahu. Ya, inilah Desember dua
ribu sepuluh. Ingin aku tumpahkan semua agar kelak suatu saat tak lagi merasa
the javu.
Kalian
tahu? Ujian Akhir Semester, klasik. Namun konspirasinya yang mengajak serta
semua duka membuatnya menjadi relatif, tak lagi klasik. Lima hari pula dari
sebulan itu, ditangisi terus. Disesali pula, padahal belum dihadapi. Bukankah
penyesalan itu datang belakangan? Ah, mungkin ini uniknya Desember dua ribu
sepuluh.
Ditangisi?
Sudah. Disesali? Sudah. Kini giliran menghadapi. Tak sama sekali ada cahaya wajah
menyambut lima hari yang bertempat di Kiara Payung itu, yang ada hanyalah besarnya
asa untuk segera pulang. Padahal banyak cahaya ditebar massa itu, tentu pula dengan
cabaran sebagai pemanisnya.
Alhamdulillah,
begitu baiknya Allah. Kurang dari 1 km saja sudah tercipta banyak lebam
dibadan, plus cairan warna merah di telapak tangan kiri. Hmm, manisnya rasa
sakit saat itu. Membuat semua alang hilang terbang. Tepat setelah jatuh itu
lah, semua rasa sedih, malas, dan sesal angkat kaki dari dalam jiwa.
Bahagianya, karena semua hal positif akhirnya datang.
Sungguh,
sampai detik ini tak pernah ada sesal seincipun telah melalui Desember dua ribu
sepuluh. Meski tak dipungkiri, diri yang pandir begitu senang menjustifikasi
duri. Padahal hakikatnya membumbui. Ujian Akhir Semester, tugas menumpuk, QLT
2, hantaman 80 km/jam yang ke-5, Computerized Axial Tomography, pertanggungjawaban.
Semua menjadikan Desember dua ribu sepuluh begitu syahdu.
Tapi,
ingin sekali mengakui bahwa ada satu hal lagi yang membuat Desember dua ribu
sepuluh penuh makna. Lima hari yang luar biasa di Kiara Payung? Ya memang, namun
ada hal lain. Hal itu adalah manakala skenario Allah, menjadikannya kuat untuk
menampakkan diri menebar cahaya. Inspiratif, mengajarkan bahwa sakit bukanlah
halangan untuk berjuang dan menebar kebaikan.
Diberi
nama awan biru, sebut saja begitu.
Meski sampai detik ini tak mengerti, tapi biarlah. Bukankah mengambil hikmah
itu adalah tugas akhir? Kita sama-sama tahu, awan biru itu teduh. Tak pernah nampak amarah. Awan biru, membuat kita belajar menghadapi hidup dengan penuh
cerah. Tak ada muram durja, tak ada pesimis.
Belum
sempat mengenal awan biru, ia jauh
diatas sedang kita hanya memandang keindahannya dari tanah. Awan biru, bertemu untuk yang pertama.
Semoga bukan yang terakhir, mengingat sampai detik ini awan biru entah dimana rimbanya.
Alhamdulillah,
benar kan? Skenario Allah adalah yang terbaik dan terindah. Apapun cabaran yang
kau hadapi, percayalah bahwa semua adalah karena cinta. Ya, cinta Allah pada
hamba-Nya. Percayalah..
Duhai Maha
Cinta, ini adalah awan biru Desember
dua ribu sepuluh.
Kini dua ribu
dua belas, belum terlihat lagi.
Cibiru, 01 Maret
2012 23:29
Vissiana Rizky
Sutarmin
* seluruh gambar dalam blog ini di dapat dari berbagai situs