Kamis, 01 Maret 2012

Desember Dua Ribu Sepuluh



Bulan ini memang sok sibuk. Semua berkolaborasi jadi satu, bersekutu menyerbu. Memang bukanlah hal yang tabu, meski diri tetap tak mau tahu. Ya, inilah Desember dua ribu sepuluh. Ingin aku tumpahkan semua agar kelak suatu saat tak lagi merasa the javu.
Kalian tahu? Ujian Akhir Semester, klasik. Namun konspirasinya yang mengajak serta semua duka membuatnya menjadi relatif, tak lagi klasik. Lima hari pula dari sebulan itu, ditangisi terus. Disesali pula, padahal belum dihadapi. Bukankah penyesalan itu datang belakangan? Ah, mungkin ini uniknya Desember dua ribu sepuluh.
Ditangisi? Sudah. Disesali? Sudah. Kini giliran menghadapi. Tak sama sekali ada cahaya wajah menyambut lima hari yang bertempat di Kiara Payung itu, yang ada hanyalah besarnya asa untuk segera pulang. Padahal banyak cahaya ditebar massa itu, tentu pula dengan cabaran sebagai pemanisnya.
Alhamdulillah, begitu baiknya Allah. Kurang dari 1 km saja sudah tercipta banyak lebam dibadan, plus cairan warna merah di telapak tangan kiri. Hmm, manisnya rasa sakit saat itu. Membuat semua alang hilang terbang. Tepat setelah jatuh itu lah, semua rasa sedih, malas, dan sesal angkat kaki dari dalam jiwa. Bahagianya, karena semua hal positif akhirnya datang.
Sungguh, sampai detik ini tak pernah ada sesal seincipun telah melalui Desember dua ribu sepuluh. Meski tak dipungkiri, diri yang pandir begitu senang menjustifikasi duri. Padahal hakikatnya membumbui. Ujian Akhir Semester, tugas menumpuk, QLT 2, hantaman 80 km/jam yang ke-5, Computerized Axial Tomography, pertanggungjawaban. Semua menjadikan Desember dua ribu sepuluh begitu syahdu.
Tapi, ingin sekali mengakui bahwa ada satu hal lagi yang membuat Desember dua ribu sepuluh penuh makna. Lima hari yang luar biasa di Kiara Payung? Ya memang, namun ada hal lain. Hal itu adalah manakala skenario Allah, menjadikannya kuat untuk menampakkan diri menebar cahaya. Inspiratif, mengajarkan bahwa sakit bukanlah halangan untuk berjuang dan menebar kebaikan.
Diberi nama awan biru, sebut saja begitu. Meski sampai detik ini tak mengerti, tapi biarlah. Bukankah mengambil hikmah itu adalah tugas akhir? Kita sama-sama tahu, awan biru itu teduh. Tak pernah nampak amarah. Awan biru, membuat kita belajar menghadapi hidup dengan penuh cerah. Tak ada muram durja, tak ada pesimis.
Belum sempat mengenal awan biru, ia jauh diatas sedang kita hanya memandang keindahannya dari tanah. Awan biru, bertemu untuk yang pertama. Semoga bukan yang terakhir, mengingat sampai detik ini awan biru entah dimana rimbanya.
Alhamdulillah, benar kan? Skenario Allah adalah yang terbaik dan terindah. Apapun cabaran yang kau hadapi, percayalah bahwa semua adalah karena cinta. Ya, cinta Allah pada hamba-Nya. Percayalah..

Duhai Maha Cinta, ini adalah awan biru Desember dua ribu sepuluh.
Kini dua ribu dua belas, belum terlihat lagi.


Cibiru, 01 Maret 2012 23:29
Vissiana Rizky Sutarmin

* seluruh gambar dalam blog ini di dapat dari berbagai situs

Selasa, 28 Februari 2012

Antara Peluh Pejuang Jalanan dan Pahitnya Raut Wajah Kementerian



Sempat berfikir, mengapa saudara-saudara saya lebih memilih berpanas-panasan kejalan untuk meminta bantuan. Mengapa mereka tidak mendatangi intansi terkait yang dapat membantu mereka mewujudkan asanya, “Membangun mesjid atau pesantren”.
Sempat juga merasa malu, melihat saudara-saudara saya mempertaruhkan harga dirinya demi selembar uang lusuh Kapitan Patimura. Atau logam berkarat berlambang pancasila. Mengapa mereka mempermalukan agama mereka dengan memelas dijalan? Mengapa mereka tidak meminta “Orang-orang atas” untuk meringankan beban mereka.
Sungguh, tak pernah saya sangka bahwa jawaban atas keheranan, kebingungan dan tanda tanya dalam fikiran saya akan terjawab secepat ini. Allah begitu baik, dengan tidak membiarkan saya terlalu lama dalam jelaga suudzon pada saudara saya sendiri.
Saudaraku, terlalu dini memang. Namun, kini saya dapat mengerti. Mengapa kalian lebih memilih cara radikal dengan meminta-minta dijalan dibanding mengajukan proposal bantuan pada Kementerian atau lembaga terkait. Mungkin inilah satu dari sekian banyak alasannya.
Sungguh saya bersyukur atas luka yang telah ditorehkan para Pejabat Kementerian “X” kepada saya. Karena dengan itulah saya menangis, mengingat dosa-dosa yang luput dari taubat, mengingat kedzoliman saya pada saudara saya dan membuat saya semakin yakin, bahwa dakwah bukanlah jalan bertabur bunga.
Saudaraku, ternyata sulit ya menemui orang-orang Islam yang dapat menerima saya. Padahal saya adalah saudara mereka semuslim, dan mereka pun adalah saudara saya semuslim. Tak pernah saya kira, bahwa prinsip “Antara muslim yang satu dengan yang lain itu bersaudara” telah lama dimuseumkan. Tak pernah saya duga, bahwa senyum saudara saya di Kementerian akan semahal ini.
Saudaraku yang turun kejalan, maaf atas jelaga yang telah saya ukir dalam kanvas kehidupan yang amat singkat ini. Maaf atas segala prasangka buruk yang pernah terlintas dalam fikiran saya. Maaf saya pernah berkesimpulan bahwa tindakan kalian meminta-minta dijalan dengan label “Pembangunan Mesjid” itu sangat memalukan Islam.
Saya mengerti, terlalu dini untuk menyimpulkan ini semua mengingat banyak sekali aspek yang perlu sama-sama kita kaji, agar kemudian tak lagi ada prasangka diantara kita. Namun, biarlah kekecewaan pada “orang-orang atas” ini menjadi penawar agar kemudian saya bisa lebih memahami saudara-saudara saya yang dengan speaker diatas mobilnya menyerukan “Bapak-bapak ibu-ibu yang baik hati, mohon bantuan bagi pembangunan bla..bla..bla..” Biarlah wajah pahit Kementerian membuat saya lebih menghormati saudara-saudara saya yang mengarak kotak amal kejalanan.
Saudaraku yang berpeluh-peluh dijalan, semoga Allah senantiasa memelihara hati kita dari penyakit dan senantiasa membimbing hati kita agar senantiasa sibuk karena Allah. Semoga kita semua dilindungi dari niat jahat nan pandir. Semoga Allah mengampuni kita atas jalan yang mungkin tersalah. Semoga Allah senantiasa meridhoi langkah kita.
Dan, untuk saudara-saudaraku para pengabdi negara yang menghabiskan waktu kerja dikantin, untuk para pengemban amanat rakyat yang duduk santai dengan kepulan asap dimeja kerja, untuk para pejabat yang lupa bahwa mereka adalah makhluk lemah, untuk para pegawai negara yang kesulitan ramah melayani rakyat. Semoga hidayah dan inayah-Nya senantiasa menaungi kalian. Terimakasih atas pengalaman yang amat berharga ini. Terimakasih telah melempar saya dan mungkin saudara-saudara saya yang lain bak bola pingpong. Terimakasih atas penerimaan kalian yang begitu mengesankan.
Ingin kembali saya tekankan bahwa mungkin terlalu dini untuk menyimpulkan ini semua. Namun, biarlah ini menjadi catatan kehidupan saya. Biarlah ini menjadi pengingat untuk saya dimasa depan, bahwa saya pernah menjadi rakyat kecil yang diperlakukan “istimewa” oleh para pejabat negara. Biarlah ini menjadi bukti, bahwa kedzoliman pada rakyat kecil yang sering digembar-gemborkan di TV pernah saya alami sendiri.
Alhamdulillah, Maha Besar Allah yang senantiasa menyayangi hamba-Nya dengan cara-Nya yang tak terduga. Maha Besar Allah yang senantiasa menurunkan hikmah agar hamba-Nya bersyukur dan berfikir.



Senin, 27 Februari 2012 23:22
Refleksi sepulang dari kantor Kementerian “X”
Addhoif
Vissiana Rizky Sutarmin