“Tuhan, bawa aku pulang agar ibu
bahagia..”
Setelah
kakaknya pergi, rasanya memang tak ada lagi yang dapat memandang hal baik dari
Kay. Ah, bahkan kakaknya pun memang tak pernah ada. Dia hanya ada dalam
ketiadaan Kay. Dunia ini memang sederhana. Namun tak sesederhana masing- masing
perspektif dalam memandangnya. Bagi Kay dunia ini tak lebih dari pada sebuah
rest area. Hanya sebuah persimpangan menuju keabadian.
Kenyataannya
tidak begitu bukan Kay? Kesederhanaan fikirmu tidak berbanding lurus dengan
kenyataan hidup. Jika ini hanya perspektif, maka biarlah kali ini kubiarkan kau
hidup dalam perspektifmu. Bagaimana hidup ini Kay? Rumit. Sampai- sampai Kay
harus memilih jalan pelik, memutuskan untuk tidak bicara. Bahkan itupun bukan
keputusan, tapi sebuah jalan yang mau tak mau harus dilalui.
Setelah
kakaknya pergi, rasanya memang tak ada lagi yang dapat memandang hal baik dari
Kay. Dari berjuta episode hidupnya Kay dapat satu catatan kecil yang begitu
mencederai jiwanya.
“Dengar,
kau ini hanyalah seorang anak autis, kau bahkan sering bertindak aneh. Hei, kau
ini perempuan dan kau sudah besar, mengapa kau selalu bertindak tidak benar? Kau
terlalu sensitif, kurang peka, pilih-pilih makan, kau bahkan jarang memasukan
nasi kemulutmu. Dan ingat, aku begitu bingung harus seperti apa padamu, untuk
mengurus dirimu sendiri saja kau tidak bisa! Kau lelet, bergeraklah lebih
cepat! Kau mengesalkan, sering menyusahkan, dan kau amat sangat
membingungkanku. Bebaskan fikiranmu!! Kau ini kenapa??”
Kay
sangat menyayangi ibunya, dia hanya tidak tahu cara apa yang paling tepat untuk
mengungkapkannya. Hingga akhirnya kata- kata itulah yang sering keluar dari
mulut ibunya. Kay merasa hidupnya tidak berarti. Bukankah setidaknya Tuhan beri
satu kelebihan pada setiap makhluk ciptaan-Nya? Lalu ada apa dengan Kay? Bahkan
ibunya sendiri pun berpandangan amat luas pada segala hal yang buruk tentang
Kay. Adakah hal baik yang harus aku gali? Haruskah aku korek hingga lubang
berdebu kian dalam, dan wewangian yang kukira pertanda baik ternyata berujung
kelam.
Baiklah,
ini faktanya. Bagi Kay, dunia ini memuakkan. Aku yakin, seandainya tidak
berdosa, Kay pasti sudah pintakan mati pada Tuhannya. Tapi tidak, itu bukan hal
baik. Maka Kay pun hanya merangkai asa dalam balutan dilema. Oh, begitu
mudahnya manusia berbuat salah disebuah padang bernama bumi. Sulit, rumit,
hingga apa yang buruk nampak baik, sedang yang baik nampak buruk. Rindu. Rindu
pada masa dimana Kay tidak harus memusingkan hal-hal tentang hidup. Harapan untuk
berguna harus dibayar darah dan air mata. Tapi biarlah, tak ada yang sia-sia. Bukankah
Tuhan Maha Tahu? Dan bukankah skenario-Nya adalah benar indah dan baik bagi
setiap hamba-Nya.
“Tuhan, aku teramat sakit dalam
kerinduan ini. Aku bersalah, tapi aku tetap rindu. Aku payah, namun aku tetap
harap untuk bertemu. Tuhan, maafkan kealpaanku. Jika ini baik, maka bawalah aku
pulang, agar ibu bahagia. Agar tak ada lagi yang menyusahkannya, agar tak ada
lagi yang membuatnya marah, agar tak ada lagi yang membingungkannya. Dan, agar
senyumnya kembali merekah dan ia bisa hidup penuh berkah dalam menghabiskan
sisa hidupnya. Tuhan, bawa aku pulang agar ibu bahagia.. ”
Ujar Kay lirih.