Selasa, 02 Juli 2013

Jelaga Tiga Sangkakala #4




“Tuhan, bawa aku pulang agar ibu bahagia..”

Setelah kakaknya pergi, rasanya memang tak ada lagi yang dapat memandang hal baik dari Kay. Ah, bahkan kakaknya pun memang tak pernah ada. Dia hanya ada dalam ketiadaan Kay. Dunia ini memang sederhana. Namun tak sesederhana masing- masing perspektif dalam memandangnya. Bagi Kay dunia ini tak lebih dari pada sebuah rest area. Hanya sebuah persimpangan menuju keabadian.

Kenyataannya tidak begitu bukan Kay? Kesederhanaan fikirmu tidak berbanding lurus dengan kenyataan hidup. Jika ini hanya perspektif, maka biarlah kali ini kubiarkan kau hidup dalam perspektifmu. Bagaimana hidup ini Kay? Rumit. Sampai- sampai Kay harus memilih jalan pelik, memutuskan untuk tidak bicara. Bahkan itupun bukan keputusan, tapi sebuah jalan yang mau tak mau harus dilalui.

Setelah kakaknya pergi, rasanya memang tak ada lagi yang dapat memandang hal baik dari Kay. Dari berjuta episode hidupnya Kay dapat satu catatan kecil yang begitu mencederai jiwanya.

“Dengar, kau ini hanyalah seorang anak autis, kau bahkan sering bertindak aneh. Hei, kau ini perempuan dan kau sudah besar, mengapa kau selalu bertindak tidak benar? Kau terlalu sensitif, kurang peka, pilih-pilih makan, kau bahkan jarang memasukan nasi kemulutmu. Dan ingat, aku begitu bingung harus seperti apa padamu, untuk mengurus dirimu sendiri saja kau tidak bisa! Kau lelet, bergeraklah lebih cepat! Kau mengesalkan, sering menyusahkan, dan kau amat sangat membingungkanku. Bebaskan fikiranmu!! Kau ini kenapa??”

Kay sangat menyayangi ibunya, dia hanya tidak tahu cara apa yang paling tepat untuk mengungkapkannya. Hingga akhirnya kata- kata itulah yang sering keluar dari mulut ibunya. Kay merasa hidupnya tidak berarti. Bukankah setidaknya Tuhan beri satu kelebihan pada setiap makhluk ciptaan-Nya? Lalu ada apa dengan Kay? Bahkan ibunya sendiri pun berpandangan amat luas pada segala hal yang buruk tentang Kay. Adakah hal baik yang harus aku gali? Haruskah aku korek hingga lubang berdebu kian dalam, dan wewangian yang kukira pertanda baik ternyata berujung kelam.

Baiklah, ini faktanya. Bagi Kay, dunia ini memuakkan. Aku yakin, seandainya tidak berdosa, Kay pasti sudah pintakan mati pada Tuhannya. Tapi tidak, itu bukan hal baik. Maka Kay pun hanya merangkai asa dalam balutan dilema. Oh, begitu mudahnya manusia berbuat salah disebuah padang bernama bumi. Sulit, rumit, hingga apa yang buruk nampak baik, sedang yang baik nampak buruk. Rindu. Rindu pada masa dimana Kay tidak harus memusingkan hal-hal tentang hidup. Harapan untuk berguna harus dibayar darah dan air mata. Tapi biarlah, tak ada yang sia-sia. Bukankah Tuhan Maha Tahu? Dan bukankah skenario-Nya adalah benar indah dan baik bagi setiap hamba-Nya.

“Tuhan, aku teramat sakit dalam kerinduan ini. Aku bersalah, tapi aku tetap rindu. Aku payah, namun aku tetap harap untuk bertemu. Tuhan, maafkan kealpaanku. Jika ini baik, maka bawalah aku pulang, agar ibu bahagia. Agar tak ada lagi yang menyusahkannya, agar tak ada lagi yang membuatnya marah, agar tak ada lagi yang membingungkannya. Dan, agar senyumnya kembali merekah dan ia bisa hidup penuh berkah dalam menghabiskan sisa hidupnya. Tuhan, bawa aku pulang agar ibu bahagia.. ” Ujar Kay lirih.