Selasa, 27 Desember 2011

Menanggalkan Cangkang



"Sepahit apapun, ia tetap pelangi.."

Ya Allah, baru tahu aku jika begini rasanya. Semua bercampur aduk. Beberapa waktu kebelakang ini pelangi memang penuh warna. Ada coklat, abu-abu, ada hitam. Ya, si hitam nampaknya sang dominasi. Computerized Axial Tomography memanggil-manggil, "Kapan kau akan datang, sebulan sudah kau ingkar!". Aku bingung, sejauh ini aku memang sengaja lari dan mencari-cari alasan untuk menjauhinya. Tapi entah alasan apa lagi yang bisa aku tamparkan pada wajahnya. Napas sudah pengap-pengap. Ya, aku butuh dia. Aku harus datang.

Sang waktu memang sedang begitu perhatian. Orang-orang bergantian datang untuk berceramah, sok tau! Satu per satu menghampiri, ku kira untuk mengatakan ini : "Kau harus kuat, sabar ya!" tapi ternyata bukan. Ah, sejak kecil juga tak ada yang berkata seperti itu. Mengapa sekarang mengharap?

Pekan ini memang penuh warna, terimakasih Allah. Pelangi ini nampaknya hanya miliku. Pelangi dengan kolaborasi coklat, abu-abu dan hitam sebagai penghiasnya. Orang lain mana punya? Pelangi mereka klasik, hanya bergumul dengan yang mereka sebut Me, Ji, Ku, Hi, Bi, Nu, U. Aku mulai belajar tuli sekarang. Mendengar perkataan mereka membuat hati utuhku yang tinggal sedikit terancam keselamatannya.

Perkataan yang baik, katanya sesuai Al-Qur'an dan Sunnah. Mereka bilang aku salah, bandel, gagal. Mereka bilang aku harus minta ampun pada-Mu. Ya Allah, aku tidak suka di ikut campuri. Kan Engkau lebih tahu, mereka memang serba ingin tahu tentang hubungan kita. Bak selebritis saja.

Duhai Allah, aku sudah kenyang dengan literasi-literasi itu. Percayalah, aku sudah sejak jauh-jauh hari tahu bahwa ini wajib. Demi-Mu, tak tak aku tinggalkan. Engkau memang Maha Tahu yang terbaik untukku. Maka jika Engkau memang menghendaki demikian. Bismillah, akan ku tinggalkan cangkang ini. Akan kuraih substansi di bumi lain.

Mulai sekarang, aku akan lebih mendengarkan-Mu dan mendengarkan malaikat-Mu. Malaikat yang di kakinya, ada syurga untukku. Malaikat yang murkanya membuat Kau pun murka. Duhai Allah, maaf atas keterlambatanku memahami semua ini. Bimbing hamba Ya-Rabb. Kuatkan hamba menghadapi manusia-manusia-Mu. Aamiin.


Addhoif
Vissiana Rizky Sutarmin

27 Desember 2011, 10.02

Minggu, 25 Desember 2011

Hantaman 80 km/jam




Tersesat, terjebak ruang introvert. Tak mampu bertutur, meski telah mencoba. Hanya berharap kelak Kau turunkan sosok pemaham dari langit. Kini, lebam-lebam ini kian menyakitkan. Bahkan urat-urat yang salah ini membuatku tak mampu menyuapkan makanan kemulutku sendiri. Hantaman 80 km/jam. Ini sudah yang ke-sembilan kalinya. Tapi, aku masih menunggu. Kapan Kau merindukanku?

Terkadang, aku merasa tak tahan ingin pulang. Meski hal tersebut masih ketimpangan. Sahabatku bilang, kita tidak boleh meminta mati. Tapi guruku bilang, kita harus merindukan mati. Berbeda dari itu semua, teman ku bilang dia teringat mobil ambulance dan keranda mayat ketika melihat wajahku. Jujur sekali dia. Entahlah, ini rindu yang tak tahu diri. Sholeh tidak, bekal tak cukup, amal masih buruk. Apa yang hendak dibanggakan?

Tapi tetap. Harapanku tetap. Tetap pada kerinduan awal, segera pulang. Tak mau aku habiskan masa tuaku disini.

Ya Allah, kukira hantaman 80km/ jam kemarin sore akan membawaku pulang. Tapi ternyata tidak. Aku tahu Kau menyayangiku. Kau beri aku kesempatan (lagi) untuk menyiapkan bekal terbaik sebelum saatnya tiba. Terimakasih dan segeralah duhai Allah..



Al-Faqir IlaLlah
Vissiana Rizky Sutarmin

25 Desember 2011 14.09