Sabtu, 04 Oktober 2014

Jelaga Tiga Sangkakala #6




“Aku telah sampai..”


Teruntuk seorang kawan yang kini entah dimana
Aku telah sampai pada suatu massa dimana menahan marah dan kesal jadi perihal yang berat sekali aku lakukan
Oh, bukankah saat- saat kemarin ini begitu mudah?


Aku telah sampai pada suatu persimpangan dimana kekecewaan dan sakit hati jadi sesuatu yang berat sekali aku bendung sendiri
Oh, bukankah saat- saat kemarin aku begitu kuat?


Selasa, 20 Mei 2014

Jelaga Tiga Sangkakala #5




Sederhana Saja, Ini Rindu!

Kay berbekal sebuah pisau digenggamannya setiap hari. Pisau yang ia bawa- bawa kemanapun ia pergi. Pisau yang ia sertai dalam aktivitas apapun dalam hidupnya. Pisau yang sebenarnya tidak cukup tajam, tapi mampu membuatnya berdarah.

“Aku harus tusuk hatiku tiap kali aku rindu, pisau ini berfungsi bukan?” ujarnya dalam hati.

Kay berfikir sakitnya sayatan pisau akan mengalahkan sakitnya rindu. Ah, naif. Begitukah? Mengapa rindu harus diredam? Kau takut pada sesuatu! Ya, kau takut! Dan ketakutan tersebut membuatmu rela menempuh jalan yang kurang kau sukai.

Senin, 19 Mei 2014

Ingat ini, Ibda’ Binafsik!



sumber gambar : islamic-news4u.blogspot.com

“Apa yang kamu alami dan orang- orang yang kamu temui itu bukan kebetulan. Hal tersebut memang sudah ketetapan-Nya. Dan ketetapan-Nya tidak mungkin sia- sia dan tanpa hikmah.”

Kurang lebih itulah yang disampaikan guru mengaji saya, Pak Asep Rohmat, beberapa waktu lalu. Entah ada angin dari mana, tiba- tiba saja beliau menelpon dan berkata demikian. Tapi memang tepat rasanya. Karena saat itu saya sedang ragu. Ragu dengan apa yang saya alami dalam hidup beberapa waktu kebelakang. Kadang terfikir, “sebenarnya ada apa dibalik ini semua? Tuhan, apa yang hendak Engkau tunjukkan?

Saya dan Ekspresi ber-Tuhan


Sumber gambar : www.arrahmah.com

Entah yang saya alami setahun kebelakang ini termasuk kemunduran atau kemajuan. Tapi, saya merasa damai. Lebih bahagia. Sakit saya pun sekarang jarang kambuh. Sebuah kesalahankah ini?

Jika orang lain bertanya, “Memang awal mulanya seperti apa?”. Jujur, saya pun tidak tahu persis. Tapi semua berjalan begitu alamiah, tanpa pernah saya duga. Saya dengan senang hati mengikuti kemana langkah kaki tertuju. Satu bekal saya saat itu, yakin. Yakin bahwa Allah tidak akan ingkar janji. Allah sudah berjanji tidak akan membiarkan saya sendirian, dan membiarkan semua yang saya alami dalam hidup berbuah kesia- siaan.
Dan satu hal lagi, Allah sesuai prasangka hamba-Nya. Ah, sempurna. Allah Maha Baik.

Kamis, 20 Maret 2014

Jembatan Awan




Jadi inget dulu waktu masih kuliah. Tempat yang saya pampang fotonya diatas itu akrab banget lah pas masa- masa itu. Saya tulis ini karena gak tahu kenapa saya ingat lagi, maklum, mungkin nilai historisnya yang cukup tinggi.

Ada yang saya alami di jembatan itu? Iya, banyak malah. Tapi bukan buat nakut- nakutin orang pas malem kayak Si Manis Jembatan Ancol ya :D..

Selasa, 25 Februari 2014

Diam- diam Aku Sombong




Ini soal hati yang letaknya tersembunyi. Hingga rasanya tak ada yang berhak menjustifikasi hati kecuali yang punya hak, Allah semata. Saat orang lain bilang, “kamu begitu baik hati, cerdas dan unik.” Aku katakan pada mereka bahwa semua itu biasa saja, aku bukan apa- apa. Rupanya ada senyum kecil yang tertahan di bibir, ada diam beberapa detik dalam hati. Ayo mengaku! Jangan- jangan, diam- diam aku sombong.

Ini soal hati yang letaknya tersembunyi. Apa kita benar- benar orang yang “benar”? Atau malah termasuk orang yang lain dihati lain disikap? Saat kita jadi manusia berguna, banyak membantu orang lain. Tanpa orang lain tahu kita banyak berbuat kebaikan, banyak buat prestasi. Lalu datanglah seorang bermulut besar bicara soal “jadi manusia berguna”. Kembali diam beberapa detik dalam renungan, merasa diri sudah talk less do more. Ayo mengaku! Jangan- jangan, diam- diam aku sombong.

Ini soal hati yang letaknya tersembunyi. Karena ingin jadi yang terbaik dimata Tuhan, aku berusaha menjalani kewajiban yang aku mampu semaksimal mungkin.  Seorang teman yang luar biasa Islami nan sholeh bicara secara tak langsung soal pendapatnya dengan menggebu- gebu. Katanya seseorang telah melenceng, pakaiannya jadi bla bla bla, sikapnya jadi bla bla bla, fikirannya jadi bla bla bla. Aku sadar diri semua bla bla bla itu ada dalam diriku saat ini. Kembali diam beberapa detik dalam renungan, aku tahu kekurangan mereka dan aku merasa bisa lepas diri untuk tidak melakukan hal yang sama. Sedetik aku rasa diriku tak seburuk itu. Ayo mengaku! Jangan- jangan, diam- diam aku sombong.

Mencari seribu alasan untuk membenarkan diri. Teruntuk sikap diri pada segala aspek dalam hidup, ayo mengaku! Jangan- jangan, diam- diam aku sombong.

Angkuh dalam kerendahan hati, bersikap ‘sok’ diam mengalah dalam balutan kritik, tinggi hati dalam perbaikan diri. Teruntuk penempatan diri pada segala aspek dalam hidup, ayo mengaku! Jangan- jangan, diam- diam aku sombong.

Hanya Allah yang Maha Membimbing langkah setiap hamba-Nya. Aku harap segala hal tentang angkuh dan tidak ikhlas dapat menjauh. Ya Allah, bantu bimbinglah aku. Karena diam- diam, aku sombong.

Astagfirullah..

Minggu, 23 Februari 2014

Sudut Pandang #2




Jika saja tak ingat bahwa aku akan mati, sudah kucari rumahnya, kuhujani dia dengan caci maki. Aku tak perlu pikir panjang, akan aku habiskan semua sisa uang, kusewa pengacara untuk bantuku berjuang. Aku tak perlu peduli harus berurusan dengan polisi, toh semua demi harga diri, yang telah dia injak- injak hingga sakitnya tak terperi.

Oh, kiranya aku masih takut mati. Bersabarlah wahai diri..
***

Sudah sekuat tenaga kutahan diri. Seingatku aku bahkan tak pernah memarahi siapapun, kecuali adik lelakiku. Aku hampir selalu bisa menahan diri dari amarah, kecuali pada adik lelakiku, satu- satunya manusia didunia ini yang pernah melihatku marah besar. Jujur, aku tidak mengharap amarahku pada dia yang menebar jala fitnah jadi amarah besar keduaku, yang tak akan berujung baik kecuali penyesalan.

Baik, kucoba berfikir ulang. Seseorang berkata “Ingat- ingatlah hal buruk apa saja yang akan kamu lalui jika kamu mengikuti amarahmu.” Aku tau, aku harus bijak bahkan pada diriku sendiri. Aku harus duduk tenang, sejenak mencatat kemungkinan- kemungkinan terburuk yang akan terjadi.
***

Catat ini!

Pertama, aku akan menghabiskan banyak waktu. Aku mungkin akan kurang tidur. Aku mungkin akan lupa bahwa aku perlu makan. Dan bahkan, aku mungkin akan lupa pada orang- orang disekitarku. Autis. Berkutat hanya pada satu perkara, menjebloskannya ke penjara! Oh tidak, ini bahkan terlalu buruk untuk sekedar dibayangkan.

Kedua, aku akan menghabiskan banyak tenaga. Ya, aku akan merusak fisikku sedikit demi sedikit. Bukankah butuh perjuangan yang berat untukku agar bisa sehat? Sakitku bahkan belum sembuh total. Lalu sekarang, aku harus buang- buang energi sehatku hanya untuk satu perkara, menjebloskannya ke penjara! Oh tidak, ini bahkan terlalu pedih untuk sekedar dipikirkan.

Ketiga, aku akan menghabiskan banyak uang. Loh, memangnya kenapa? Begitu bukan adanya? Lapor polisi, sewa jasa pengacara, bahkan sewa jasa pengawal kalau-kalau terjadi hal yang tidak terduga. Untuk itu semua butuh uang bukan? Baik, uang memang kupunya. Tapi bagaimana dengan biaya CT Scan- ku, obat- obat, biaya ke dokter yang sudah pasti tidak sedikit dan jujur saja jauh lebih penting dan mendesak. Lalu sekarang, aku harus buang- buang uang hanya untuk satu perkara, menjebloskannya ke penjara! Oh tidak, ini bahkan terlalu memuakkan untuk sekedar diimpikan.

Akankah ku urungkan?
***
Isi kepalaku jauh lebih dingin sekarang. Banyak yang berjasa dibalik ini semua, salah satunya adalah waktu. Waktu telah banyak membantuku untuk bisa tenang, menurunkan tensi secara perlahan. Hingga aku tak sedikitpun merasa terpaksa. Semua berlalu begitu alamiah. Hingga aku merasa tak berminat lagi membahas soal amarah.

Aku tahu aku telah kembali, menjadi seseorang yang sulit sekali untuk marah. Kuharap demikian. Aku bersyukur, Tuhan.

Hatiku sudah jauh lebih lapang sekarang. Aku sadar banyak hal baik dari apa yang terjadi. Banyak sekali. Hingga akhirnya yang aku bisa hanyalah menunduk malu, malu pada Tuhan. Oh, ampunilah aku.

Aku harus duduk tenang lagi, sejenak mencatat banyaknya hal- hal baik yang aku terima. Segalanya lebih dari sekedar yang aku catat. Ini hanya sebagai pengingat, agar aku pikir ribuan kali sebelum berprasangka buruk pada-Nya.
***

Catat ini!

Pertama, ada banyak kesalahan yang aku atau keluargaku perbuat. Dan hal tersebut mungkin tak akan pernah bisa ditebus dengan kebaikan sehebat apapun. Hingga akhirnya Tuhan baik hati mau memberi kami kesempatan untuk sakit fisik dan perih hati semata- mata demi menggugurkan dosa- dosa kami. Semoga Allah mengampuni dosaku dan dosa kedua orangtuaku.

Kedua, ada banyak khilaf yang sadar atau tidak sadar telah aku dan keluargaku perbuat. Bukankah baik jika kemudian ujian datang? Hingga pada akhirnya kami sadar meluangkan waktu untuk introspeksi diri. Ada banyak sekali kelalaian. Lalai shalat tepat waktu, lalai sedekah, lalai menjaga perasaan orang lain, dan banyak kelalaian- kelalaian lainnya. Semoga Allah mengampuni dosaku dan dosa kedua orangtuaku.

Ketiga, mungkin kita terlalu mengedepankan ego kita selama ini. Hingga lupa menjaga sikap masing- masing. Kedekatan mulai renggang, kita sama- sama sibuk dengan urusan sendiri. Bukankah baik jika kemudian ujian datang? Hingga pada akhirnya kita kembali bersatu, duduk sejajar, berbagi, berfikir bersama, menyiapkan kekuatan terbaik. Kita jadi makin dekat sekarang, kita makin saling faham, kita makin saling sayang. Ini keluarga yang sempurna karena ketidaksempurnaanya. Terimakasih Tuhan.

Keempat, hingga pada akhirnya waktu pun membuktikan. Jalan kebenaran perlahan mulai terlihat. Bunda, ayah, betapa malunya diri ini. Seharusnya kita sadar diri sejak awal, kebenaran cepat atau lambat akan terbuka! Yang benar akan memang! Dan Tuhan telah buktikan itu, bahkan dengan cara yang sama sekali tak pernah kita duga. Malu rasanya pernah terkuasai emosi, meski aku manusia biasa, aku tetap malu. Maha Suci Allah. Semoga Ia mengampuni dosaku dan dosa kedua orangtuaku.

Biarlah ini jadi pengingat kecil. Karena kebaikan Tuhan tak akan pernah cukup untuk dicatat.
Biarlah ini jadi pengingat kecil. Agar kita semua sentiasa lebih baik setiap waktunya.

Biarlah..

Sabtu, 22 Februari 2014

Sudut Pandang..





Semua berawal saat aku begitu sangat ingin punya teman. Ya, teman. Tapi maksudku teman yang sesungguhnya. Bukan teman yang sekedar status, cukup saling tahu nama dan bertegur sapa. Apalagi sekedar teman facebook yang dengan mudah terhubung meski tak pernah bersinggungan barang satu waktu.

Kau lihat sendiri bukan? Temanku banyak. Cukup berjalan saja dari gerbang kampus menuju ruang kelas, sudah puluhan orang yang menyapa. “Hai, apa kabar?”, “Assalammu’alaikum?”, “Kemana saja kamu?”.

Kau lihat sendiri bukan? Banyak orang yang “nampak” seolah teman dekatku. Mereka dapat posisi seakan paling tahu aku ini siapa. Mereka yang dirasa sangat dekat dan sangat memahami diri padahal aku sendiri hanya cerita sedikit, itupun hanya untuk formalitas bahwa aku menganggap mereka teman yang sangat dekat.

Ini bukan salah mereka. Tolong catat ini! Tak ada satupun dari ribuan temanku yang salah. Aku yang salah. Aku bahkan kesal pada diriku sendiri. “Kenapa pelit sekali beri kepercayaan?”

Izinkan aku beri sedikit rasa maklum pada diriku sendiri. Setelah banyak waktu kuhabiskan untuk mengutuk diri. Tentang mengapa diri ini begitu rumit dipahami bahkan oleh diri sendiri, tentang mengapa banyak dari tindakanku yang dipandang aneh orang banyak, tentang diri yang amat sulit berceritera lewat lisan guna menjadi pengemban amanah hati dan fikiran.

Izinkan aku beri sedikit rasa maklum pada diriku sendiri. Oh, biarlah diri ini begini, setiap orang punya ciri khas bukan? Hal- hal buruk tentang pengkhianatan orang- orang yang terlanjur ku beri kepercayaan, tentang aku yang tak didengar dengan baik padahal sudah banyak energi yang habis untuk mengoceh, tentang mereka yang dengan dingin berkata, “maaf kawan, aku tak merasa diperdengarkan apa- apa. Jangan salahkan aku jika kau rasa sendirian. Kau hanya berlebihan. Biasa saja lah!”

Lalu sekarang, apa semua sepenuhnya salahku jika aku ingin meledak karena tanggung menyimpan segala rasa sendirian? Apa semua sepenuhnya salahku jika kemudian rasa percaya jadi begitu sulit untuk kuberikan?

***
Semua berawal dari akumulasi cobaan yang harus aku hadapi. Terserah kau mau bilang apa. Tapi ini cukup membuat otakku penuh. Belum juga kering luka sayatan dibadan, datanglah lagi luka baru yang amat menyakitkan. Aku ingin berbagi. Tapi tak tahu pada siapa. Aku ingin berbagi. Tapi tak tahu harus seperti apa caranya.

Sial! Mengapa pula yang terfikir olehku itu namamu. Aku hampir menganggap ini sebuah kesalahan yang aku lakukan bahkan dilangkah pertama yakni, terfikir. Baru diotak saja aku sudah merasa bersalah, bagaimanakah lagi jika aku merealisasikannya? Oh Tuhan, aku tahu Engkau Maha Baik. Sedikit berbagi pada seseorang kuharap bukanlah dosa.

Baik, aku urungkan saja. Aku bahkan tidak tahu harus memulainya dengan kata apa. Sapa dulu, tanyakan kabarnya, ah, sudahlah, ini saja hampir membuatku muak! Selesai sampai disini, rencanaku untuk berbagi, batal!

Tapi tunggu, aku bukan robot! Please, aku pun punya hati untuk merasa dan otak untuk berfikir. Aku hampir tak tahan lagi dengan semua beban yang kupendam hampir seumur hidupku. Ayah, bunda, teman- temanku, mereka semua tidak bersalah. Mereka hanya tak punya cukup waktu, dan kami tak pernah dapat titik temu. Oya, merekapun punya urusan hidup yang harus mereka jalani. Ini alasan yang cukup, bahwa mereka seyogyanya adalah orang- orang baik, yang tak ingin aku ganggu.


***
 Izinkan aku beri sedikit waktu pada diri untuk dipahami. Bahwa aku terlahir bukan sebagai seorang manusia super. Tolong garis bawahi ini! Aku hanya manusia biasa, yang sewaktu- waktu tak tahan menanggung segala hal yang telah terjadi sendiri. Aku sangat ingin berbagi. Sedikit dapat motivasi. Dan, dipandang dengan sudut prasangka yang baik tanpa caci maki.

 ***
Jangan tanyakan dulu mengapa kamu yang aku ajak berbagi! Aku sendiri pun tidak tahu. Bingung. Aneh juga rasanya. Mengingat kamu hanyalah seseorang yang aku kenal selewat saja.
Baik, aku hanya ingin merasa punya teman. Tolong jangan salah faham.
Hingga permulaan dari segalanya pun dimulai.

***
Kita tak berbincang cukup lama, tapi entah mengapa aku merasa mengenal kamu dengan baik. Semuanya mengalir begitu saja seolah kamu bukan orang asing. Kita baru bicara satu tema saja, itupun secara tak langsung. Tapi kaget, tawa, sedih dan kecewa bisa aku rasakan diwaktu yang hampir bersamaan. Kamu juga kah?

Semua mengalir begitu saja. Apa ini sebuah kesalahan?

***
 Aku sadar betul aku belumlah bisa dikatakan sebagai orang yang baik. Tapi aku hampir selalu merasa bersalah tiap kali pembicaraan kita berlanjut, pada tema- tema lain. Misalnya kabar, kegiatan atau sekedar perkembangan studi. Aku tahu Tuhan Maha Baik. Dia tahu maksudku lebih dari apapun dan siapapun.

Aku hanya ingin punya teman. Tolong jangan berfikir buruk tentangku.

***
Hingga pada suatu ketika muncul satu tanya yang membuat luka lamaku terasa perih kembali. Maaf, tapi jujur saja pertanyaannya membuat aku kesal. Kesal pada diri sendiri. Mengapa membiarkan lagi orang lain menyinggung hal yang sesungguhnya sangat ingin aku simpan rapat- rapat.

Tapi bukan salahnya. Wajar saja jika dia ingin tahu. Tapi masalahnya semua tak sesederhana ini. Jika aku jelaskan yang sebenarnya, maka itu akan mengundang sisi- sisi lain yang amat sangat privat. Jujur, aku masih takut kalau- kalau dia bukan orang yang tepat.

***
 Kamu nampak kecewa waktu kubilang aku tak mau membahasnya. Semuanya jadi terasa aneh. Aneh sekali. Kenapa jadi begini. Oh, hal yang kutakutkan nampak terjadi lagi. Aku berbagi, tapi tak sepenuh hati, hingga itu jadi sebuah makna tersirat yang menyakitkan. Kamu merasa tidak dipercaya.

Dengarkan ini baik- baik! Setelah ini aku berjanji akan membiarkanmu mengambil langkah dan pemikiran sendiri. Setelah ini aku berjanji tak akan hadir lagi jika itu kamu rasa mengganggu. Dengarkan ini baik- baik!

Aku tak ceritakan sepenuhnya, bukan berarti itu isyarat bahwa kamu tidak bisa dipercaya. Sama sekali tidak seperti itu! Aku hanya tidak tahu harus memulainya dari mana. Hanya itu!

Aku tahu kamu orang yang baik, dan bisa dipercaya.
Aku harap kita bisa berdamai dan berteman sekarang.
Memulai segalanya lagi dari garis awal yang menyenangkan.

Maaf mengganggu..