Tampilkan postingan dengan label Fiksi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fiksi. Tampilkan semua postingan

Senin, 21 November 2016

Intuisi #3




“Kay, sepertinya aku tidak akan berpamitan..”

Sudah lumrah bahwa dalam hidup ini ada pertemuan dan ada perpisahan. Adakalanya maksud baik kita tidak diterima, beberapa diantaranya bahkan malah menimbulkan permasalahan.

Memang sudah sejak awal, beberapa orang mendatangiku, mereka memberiku nasehat dan masukan. Beberapa nasehat dan masukan bahkan seperti sebuah nada peringatan, “Kamu harus hati- hati!” kurang lebih itu yang aku tangkap.

Tapi kau tau aku kan? Bagiku ucapan orang- orang diluar sana tidak seharusnya aku telan mentah- mentah. Cukup aku simpan dulu didalam saku untuk jaga- jaga.

Jumat, 18 November 2016

Intuisi #2




“Wahai Jelaga Tiga Sangkakala, aku bukanlah orang jahat..”

Kay, hidup adalah pilihan. Klasik ya, tapi begitu adanya. Dan pilihan berat harus dia pilih saat suara itu muncul. Suara yang sudah tidak asing bagi kita, namun masih begitu asing bagi dia. Ini aku tulis percakapan antara dia dan suara itu, ku buat berurutan agar kamu mudah memahaminya.


Suara itu          : “Siapakah dia yang lain yang sedang bersamamu itu?”

Dia                  : “Dia yang lain itu adalah temanku.”

Suara itu          : “Teman? Adakah artinya bagimu?”

Dia                  : Terdiam cukup lama, “Banyak, dia yang lain itu amat berarti buatku. Bila dia yang lain itu tidak ada, tetiba saja kakiku menjadi lemah, aku berjalan tapi seperti melayang, dadaku terasa sesak dan aku pun jadi demam.”

Rabu, 16 November 2016

Intuisi #1




Tiada satu pun peperangan didunia ini yang tidak menggoreskan luka, menumpahkan darah dan membuang banyak sekali waktu, tenaga, fikiran, uang. Kematian adalah milik mereka yang terbunuh. Keletihan dan kepayahan adalah milik mereka yang membunuh. Tidak ada yang tidak tersakiti disini. Semua dengan lukanya masing-masing.

Jika peperangan melawan diri sendiri punya luka yang sama dengan peperangan melawan orang lain, mungkin kini diri ini tidak akan berbentuk. Terserah orang mau bilang apa, tapi benar rupanya bahwa luka dan darah pada perang ini juga tidak sedikit.

Seseorang berkata, kebenaran justru sering muncul pada apa- apa yang tidak nampak. Luka yang lebih dalam justru tidaklah terlihat oleh mata lahir. Tapi syukurlah karena beberapa dari manusia Tuhan beri kekuatan untuk membuat berbagai “kepalsuan” untuk menutupi lukanya.

Sabtu, 04 Oktober 2014

Jelaga Tiga Sangkakala #6




“Aku telah sampai..”


Teruntuk seorang kawan yang kini entah dimana
Aku telah sampai pada suatu massa dimana menahan marah dan kesal jadi perihal yang berat sekali aku lakukan
Oh, bukankah saat- saat kemarin ini begitu mudah?


Aku telah sampai pada suatu persimpangan dimana kekecewaan dan sakit hati jadi sesuatu yang berat sekali aku bendung sendiri
Oh, bukankah saat- saat kemarin aku begitu kuat?


Selasa, 20 Mei 2014

Jelaga Tiga Sangkakala #5




Sederhana Saja, Ini Rindu!

Kay berbekal sebuah pisau digenggamannya setiap hari. Pisau yang ia bawa- bawa kemanapun ia pergi. Pisau yang ia sertai dalam aktivitas apapun dalam hidupnya. Pisau yang sebenarnya tidak cukup tajam, tapi mampu membuatnya berdarah.

“Aku harus tusuk hatiku tiap kali aku rindu, pisau ini berfungsi bukan?” ujarnya dalam hati.

Kay berfikir sakitnya sayatan pisau akan mengalahkan sakitnya rindu. Ah, naif. Begitukah? Mengapa rindu harus diredam? Kau takut pada sesuatu! Ya, kau takut! Dan ketakutan tersebut membuatmu rela menempuh jalan yang kurang kau sukai.

Minggu, 23 Februari 2014

Sudut Pandang #2




Jika saja tak ingat bahwa aku akan mati, sudah kucari rumahnya, kuhujani dia dengan caci maki. Aku tak perlu pikir panjang, akan aku habiskan semua sisa uang, kusewa pengacara untuk bantuku berjuang. Aku tak perlu peduli harus berurusan dengan polisi, toh semua demi harga diri, yang telah dia injak- injak hingga sakitnya tak terperi.

Oh, kiranya aku masih takut mati. Bersabarlah wahai diri..
***

Sudah sekuat tenaga kutahan diri. Seingatku aku bahkan tak pernah memarahi siapapun, kecuali adik lelakiku. Aku hampir selalu bisa menahan diri dari amarah, kecuali pada adik lelakiku, satu- satunya manusia didunia ini yang pernah melihatku marah besar. Jujur, aku tidak mengharap amarahku pada dia yang menebar jala fitnah jadi amarah besar keduaku, yang tak akan berujung baik kecuali penyesalan.

Baik, kucoba berfikir ulang. Seseorang berkata “Ingat- ingatlah hal buruk apa saja yang akan kamu lalui jika kamu mengikuti amarahmu.” Aku tau, aku harus bijak bahkan pada diriku sendiri. Aku harus duduk tenang, sejenak mencatat kemungkinan- kemungkinan terburuk yang akan terjadi.
***

Catat ini!

Pertama, aku akan menghabiskan banyak waktu. Aku mungkin akan kurang tidur. Aku mungkin akan lupa bahwa aku perlu makan. Dan bahkan, aku mungkin akan lupa pada orang- orang disekitarku. Autis. Berkutat hanya pada satu perkara, menjebloskannya ke penjara! Oh tidak, ini bahkan terlalu buruk untuk sekedar dibayangkan.

Kedua, aku akan menghabiskan banyak tenaga. Ya, aku akan merusak fisikku sedikit demi sedikit. Bukankah butuh perjuangan yang berat untukku agar bisa sehat? Sakitku bahkan belum sembuh total. Lalu sekarang, aku harus buang- buang energi sehatku hanya untuk satu perkara, menjebloskannya ke penjara! Oh tidak, ini bahkan terlalu pedih untuk sekedar dipikirkan.

Ketiga, aku akan menghabiskan banyak uang. Loh, memangnya kenapa? Begitu bukan adanya? Lapor polisi, sewa jasa pengacara, bahkan sewa jasa pengawal kalau-kalau terjadi hal yang tidak terduga. Untuk itu semua butuh uang bukan? Baik, uang memang kupunya. Tapi bagaimana dengan biaya CT Scan- ku, obat- obat, biaya ke dokter yang sudah pasti tidak sedikit dan jujur saja jauh lebih penting dan mendesak. Lalu sekarang, aku harus buang- buang uang hanya untuk satu perkara, menjebloskannya ke penjara! Oh tidak, ini bahkan terlalu memuakkan untuk sekedar diimpikan.

Akankah ku urungkan?
***
Isi kepalaku jauh lebih dingin sekarang. Banyak yang berjasa dibalik ini semua, salah satunya adalah waktu. Waktu telah banyak membantuku untuk bisa tenang, menurunkan tensi secara perlahan. Hingga aku tak sedikitpun merasa terpaksa. Semua berlalu begitu alamiah. Hingga aku merasa tak berminat lagi membahas soal amarah.

Aku tahu aku telah kembali, menjadi seseorang yang sulit sekali untuk marah. Kuharap demikian. Aku bersyukur, Tuhan.

Hatiku sudah jauh lebih lapang sekarang. Aku sadar banyak hal baik dari apa yang terjadi. Banyak sekali. Hingga akhirnya yang aku bisa hanyalah menunduk malu, malu pada Tuhan. Oh, ampunilah aku.

Aku harus duduk tenang lagi, sejenak mencatat banyaknya hal- hal baik yang aku terima. Segalanya lebih dari sekedar yang aku catat. Ini hanya sebagai pengingat, agar aku pikir ribuan kali sebelum berprasangka buruk pada-Nya.
***

Catat ini!

Pertama, ada banyak kesalahan yang aku atau keluargaku perbuat. Dan hal tersebut mungkin tak akan pernah bisa ditebus dengan kebaikan sehebat apapun. Hingga akhirnya Tuhan baik hati mau memberi kami kesempatan untuk sakit fisik dan perih hati semata- mata demi menggugurkan dosa- dosa kami. Semoga Allah mengampuni dosaku dan dosa kedua orangtuaku.

Kedua, ada banyak khilaf yang sadar atau tidak sadar telah aku dan keluargaku perbuat. Bukankah baik jika kemudian ujian datang? Hingga pada akhirnya kami sadar meluangkan waktu untuk introspeksi diri. Ada banyak sekali kelalaian. Lalai shalat tepat waktu, lalai sedekah, lalai menjaga perasaan orang lain, dan banyak kelalaian- kelalaian lainnya. Semoga Allah mengampuni dosaku dan dosa kedua orangtuaku.

Ketiga, mungkin kita terlalu mengedepankan ego kita selama ini. Hingga lupa menjaga sikap masing- masing. Kedekatan mulai renggang, kita sama- sama sibuk dengan urusan sendiri. Bukankah baik jika kemudian ujian datang? Hingga pada akhirnya kita kembali bersatu, duduk sejajar, berbagi, berfikir bersama, menyiapkan kekuatan terbaik. Kita jadi makin dekat sekarang, kita makin saling faham, kita makin saling sayang. Ini keluarga yang sempurna karena ketidaksempurnaanya. Terimakasih Tuhan.

Keempat, hingga pada akhirnya waktu pun membuktikan. Jalan kebenaran perlahan mulai terlihat. Bunda, ayah, betapa malunya diri ini. Seharusnya kita sadar diri sejak awal, kebenaran cepat atau lambat akan terbuka! Yang benar akan memang! Dan Tuhan telah buktikan itu, bahkan dengan cara yang sama sekali tak pernah kita duga. Malu rasanya pernah terkuasai emosi, meski aku manusia biasa, aku tetap malu. Maha Suci Allah. Semoga Ia mengampuni dosaku dan dosa kedua orangtuaku.

Biarlah ini jadi pengingat kecil. Karena kebaikan Tuhan tak akan pernah cukup untuk dicatat.
Biarlah ini jadi pengingat kecil. Agar kita semua sentiasa lebih baik setiap waktunya.

Biarlah..

Sabtu, 22 Februari 2014

Sudut Pandang..





Semua berawal saat aku begitu sangat ingin punya teman. Ya, teman. Tapi maksudku teman yang sesungguhnya. Bukan teman yang sekedar status, cukup saling tahu nama dan bertegur sapa. Apalagi sekedar teman facebook yang dengan mudah terhubung meski tak pernah bersinggungan barang satu waktu.

Kau lihat sendiri bukan? Temanku banyak. Cukup berjalan saja dari gerbang kampus menuju ruang kelas, sudah puluhan orang yang menyapa. “Hai, apa kabar?”, “Assalammu’alaikum?”, “Kemana saja kamu?”.

Kau lihat sendiri bukan? Banyak orang yang “nampak” seolah teman dekatku. Mereka dapat posisi seakan paling tahu aku ini siapa. Mereka yang dirasa sangat dekat dan sangat memahami diri padahal aku sendiri hanya cerita sedikit, itupun hanya untuk formalitas bahwa aku menganggap mereka teman yang sangat dekat.

Ini bukan salah mereka. Tolong catat ini! Tak ada satupun dari ribuan temanku yang salah. Aku yang salah. Aku bahkan kesal pada diriku sendiri. “Kenapa pelit sekali beri kepercayaan?”

Izinkan aku beri sedikit rasa maklum pada diriku sendiri. Setelah banyak waktu kuhabiskan untuk mengutuk diri. Tentang mengapa diri ini begitu rumit dipahami bahkan oleh diri sendiri, tentang mengapa banyak dari tindakanku yang dipandang aneh orang banyak, tentang diri yang amat sulit berceritera lewat lisan guna menjadi pengemban amanah hati dan fikiran.

Izinkan aku beri sedikit rasa maklum pada diriku sendiri. Oh, biarlah diri ini begini, setiap orang punya ciri khas bukan? Hal- hal buruk tentang pengkhianatan orang- orang yang terlanjur ku beri kepercayaan, tentang aku yang tak didengar dengan baik padahal sudah banyak energi yang habis untuk mengoceh, tentang mereka yang dengan dingin berkata, “maaf kawan, aku tak merasa diperdengarkan apa- apa. Jangan salahkan aku jika kau rasa sendirian. Kau hanya berlebihan. Biasa saja lah!”

Lalu sekarang, apa semua sepenuhnya salahku jika aku ingin meledak karena tanggung menyimpan segala rasa sendirian? Apa semua sepenuhnya salahku jika kemudian rasa percaya jadi begitu sulit untuk kuberikan?

***
Semua berawal dari akumulasi cobaan yang harus aku hadapi. Terserah kau mau bilang apa. Tapi ini cukup membuat otakku penuh. Belum juga kering luka sayatan dibadan, datanglah lagi luka baru yang amat menyakitkan. Aku ingin berbagi. Tapi tak tahu pada siapa. Aku ingin berbagi. Tapi tak tahu harus seperti apa caranya.

Sial! Mengapa pula yang terfikir olehku itu namamu. Aku hampir menganggap ini sebuah kesalahan yang aku lakukan bahkan dilangkah pertama yakni, terfikir. Baru diotak saja aku sudah merasa bersalah, bagaimanakah lagi jika aku merealisasikannya? Oh Tuhan, aku tahu Engkau Maha Baik. Sedikit berbagi pada seseorang kuharap bukanlah dosa.

Baik, aku urungkan saja. Aku bahkan tidak tahu harus memulainya dengan kata apa. Sapa dulu, tanyakan kabarnya, ah, sudahlah, ini saja hampir membuatku muak! Selesai sampai disini, rencanaku untuk berbagi, batal!

Tapi tunggu, aku bukan robot! Please, aku pun punya hati untuk merasa dan otak untuk berfikir. Aku hampir tak tahan lagi dengan semua beban yang kupendam hampir seumur hidupku. Ayah, bunda, teman- temanku, mereka semua tidak bersalah. Mereka hanya tak punya cukup waktu, dan kami tak pernah dapat titik temu. Oya, merekapun punya urusan hidup yang harus mereka jalani. Ini alasan yang cukup, bahwa mereka seyogyanya adalah orang- orang baik, yang tak ingin aku ganggu.


***
 Izinkan aku beri sedikit waktu pada diri untuk dipahami. Bahwa aku terlahir bukan sebagai seorang manusia super. Tolong garis bawahi ini! Aku hanya manusia biasa, yang sewaktu- waktu tak tahan menanggung segala hal yang telah terjadi sendiri. Aku sangat ingin berbagi. Sedikit dapat motivasi. Dan, dipandang dengan sudut prasangka yang baik tanpa caci maki.

 ***
Jangan tanyakan dulu mengapa kamu yang aku ajak berbagi! Aku sendiri pun tidak tahu. Bingung. Aneh juga rasanya. Mengingat kamu hanyalah seseorang yang aku kenal selewat saja.
Baik, aku hanya ingin merasa punya teman. Tolong jangan salah faham.
Hingga permulaan dari segalanya pun dimulai.

***
Kita tak berbincang cukup lama, tapi entah mengapa aku merasa mengenal kamu dengan baik. Semuanya mengalir begitu saja seolah kamu bukan orang asing. Kita baru bicara satu tema saja, itupun secara tak langsung. Tapi kaget, tawa, sedih dan kecewa bisa aku rasakan diwaktu yang hampir bersamaan. Kamu juga kah?

Semua mengalir begitu saja. Apa ini sebuah kesalahan?

***
 Aku sadar betul aku belumlah bisa dikatakan sebagai orang yang baik. Tapi aku hampir selalu merasa bersalah tiap kali pembicaraan kita berlanjut, pada tema- tema lain. Misalnya kabar, kegiatan atau sekedar perkembangan studi. Aku tahu Tuhan Maha Baik. Dia tahu maksudku lebih dari apapun dan siapapun.

Aku hanya ingin punya teman. Tolong jangan berfikir buruk tentangku.

***
Hingga pada suatu ketika muncul satu tanya yang membuat luka lamaku terasa perih kembali. Maaf, tapi jujur saja pertanyaannya membuat aku kesal. Kesal pada diri sendiri. Mengapa membiarkan lagi orang lain menyinggung hal yang sesungguhnya sangat ingin aku simpan rapat- rapat.

Tapi bukan salahnya. Wajar saja jika dia ingin tahu. Tapi masalahnya semua tak sesederhana ini. Jika aku jelaskan yang sebenarnya, maka itu akan mengundang sisi- sisi lain yang amat sangat privat. Jujur, aku masih takut kalau- kalau dia bukan orang yang tepat.

***
 Kamu nampak kecewa waktu kubilang aku tak mau membahasnya. Semuanya jadi terasa aneh. Aneh sekali. Kenapa jadi begini. Oh, hal yang kutakutkan nampak terjadi lagi. Aku berbagi, tapi tak sepenuh hati, hingga itu jadi sebuah makna tersirat yang menyakitkan. Kamu merasa tidak dipercaya.

Dengarkan ini baik- baik! Setelah ini aku berjanji akan membiarkanmu mengambil langkah dan pemikiran sendiri. Setelah ini aku berjanji tak akan hadir lagi jika itu kamu rasa mengganggu. Dengarkan ini baik- baik!

Aku tak ceritakan sepenuhnya, bukan berarti itu isyarat bahwa kamu tidak bisa dipercaya. Sama sekali tidak seperti itu! Aku hanya tidak tahu harus memulainya dari mana. Hanya itu!

Aku tahu kamu orang yang baik, dan bisa dipercaya.
Aku harap kita bisa berdamai dan berteman sekarang.
Memulai segalanya lagi dari garis awal yang menyenangkan.

Maaf mengganggu..

Selasa, 02 Juli 2013

Jelaga Tiga Sangkakala #4




“Tuhan, bawa aku pulang agar ibu bahagia..”

Setelah kakaknya pergi, rasanya memang tak ada lagi yang dapat memandang hal baik dari Kay. Ah, bahkan kakaknya pun memang tak pernah ada. Dia hanya ada dalam ketiadaan Kay. Dunia ini memang sederhana. Namun tak sesederhana masing- masing perspektif dalam memandangnya. Bagi Kay dunia ini tak lebih dari pada sebuah rest area. Hanya sebuah persimpangan menuju keabadian.

Kenyataannya tidak begitu bukan Kay? Kesederhanaan fikirmu tidak berbanding lurus dengan kenyataan hidup. Jika ini hanya perspektif, maka biarlah kali ini kubiarkan kau hidup dalam perspektifmu. Bagaimana hidup ini Kay? Rumit. Sampai- sampai Kay harus memilih jalan pelik, memutuskan untuk tidak bicara. Bahkan itupun bukan keputusan, tapi sebuah jalan yang mau tak mau harus dilalui.

Setelah kakaknya pergi, rasanya memang tak ada lagi yang dapat memandang hal baik dari Kay. Dari berjuta episode hidupnya Kay dapat satu catatan kecil yang begitu mencederai jiwanya.

“Dengar, kau ini hanyalah seorang anak autis, kau bahkan sering bertindak aneh. Hei, kau ini perempuan dan kau sudah besar, mengapa kau selalu bertindak tidak benar? Kau terlalu sensitif, kurang peka, pilih-pilih makan, kau bahkan jarang memasukan nasi kemulutmu. Dan ingat, aku begitu bingung harus seperti apa padamu, untuk mengurus dirimu sendiri saja kau tidak bisa! Kau lelet, bergeraklah lebih cepat! Kau mengesalkan, sering menyusahkan, dan kau amat sangat membingungkanku. Bebaskan fikiranmu!! Kau ini kenapa??”

Kay sangat menyayangi ibunya, dia hanya tidak tahu cara apa yang paling tepat untuk mengungkapkannya. Hingga akhirnya kata- kata itulah yang sering keluar dari mulut ibunya. Kay merasa hidupnya tidak berarti. Bukankah setidaknya Tuhan beri satu kelebihan pada setiap makhluk ciptaan-Nya? Lalu ada apa dengan Kay? Bahkan ibunya sendiri pun berpandangan amat luas pada segala hal yang buruk tentang Kay. Adakah hal baik yang harus aku gali? Haruskah aku korek hingga lubang berdebu kian dalam, dan wewangian yang kukira pertanda baik ternyata berujung kelam.

Baiklah, ini faktanya. Bagi Kay, dunia ini memuakkan. Aku yakin, seandainya tidak berdosa, Kay pasti sudah pintakan mati pada Tuhannya. Tapi tidak, itu bukan hal baik. Maka Kay pun hanya merangkai asa dalam balutan dilema. Oh, begitu mudahnya manusia berbuat salah disebuah padang bernama bumi. Sulit, rumit, hingga apa yang buruk nampak baik, sedang yang baik nampak buruk. Rindu. Rindu pada masa dimana Kay tidak harus memusingkan hal-hal tentang hidup. Harapan untuk berguna harus dibayar darah dan air mata. Tapi biarlah, tak ada yang sia-sia. Bukankah Tuhan Maha Tahu? Dan bukankah skenario-Nya adalah benar indah dan baik bagi setiap hamba-Nya.

“Tuhan, aku teramat sakit dalam kerinduan ini. Aku bersalah, tapi aku tetap rindu. Aku payah, namun aku tetap harap untuk bertemu. Tuhan, maafkan kealpaanku. Jika ini baik, maka bawalah aku pulang, agar ibu bahagia. Agar tak ada lagi yang menyusahkannya, agar tak ada lagi yang membuatnya marah, agar tak ada lagi yang membingungkannya. Dan, agar senyumnya kembali merekah dan ia bisa hidup penuh berkah dalam menghabiskan sisa hidupnya. Tuhan, bawa aku pulang agar ibu bahagia.. ” Ujar Kay lirih.