Kamis, 05 Januari 2012

Menyoal Penegakkan Hukum di Indonesia




Gerah juga mengikuti kabar-kabar yang merebak akhir-akhir ini. Namun, suka tidak suka informasi terkini haruslah senantiasa diperbaharui. Meski sudah "jembar" mengingat apa yang di publish media hanya berkutat pada kisah-kisah buruk nan tragis yang menyisakan oleh-oleh sesak, kesal dan marah yang tak dapat disalurkan.

Coba perhatikan konten media akhir-akhir ini. Kasus Freeport, kasus Mesuji, kasus Bima, kasus pencurian sandal jepit milik anggota polisi oleh Aal bocah 15 tahun, dll. Ah, jika saja saya seorang polisi, saya bingung harus harus melakukan apa untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat yang perlahan memudar. 

Terlalu dini rasanya saya menyoal penegakkan hukum di Indonesia mengingat ada yang jauh lebih kompeten dibanding saya, seperti bapak dan ibu pengacara, aktivis HAM, mahasiswa hukum atau para penegak hukum itu sendiri. Namun, semoga dengan menulis saya bisa sedikit menumpahkan unek-unek saya yang kian mengendap akibat mengkonsumsi berita-berita ala media di Indonesia.

Saat ini semua mata rasanya tertuju pada penegak hukum kebanggaan kita. Ya, polisi. Banyak yang marah, kecewa, mengecam, bahkan sampai menghujat polisi karna kinerjanya kini kian tak sejalan dengan slogan-nya,  "Melindungi, Mengayomi dan Melayani Masyarakat". Kasus-kasus diatas adalah contoh kecil dari betapa lucunya penegakaan hukum di Indonesia.

Saya sebagai manusia yang "gagap" dan "bodoh" hukum sungguh sangat kecewa. Hukum makin tebang pilih dan pastinya dapat dibeli dengan mudah oleh uang. Aal, bocah 15 tahun yang mencuri sandal jepit saja harus mengalami tekanan psikis yang amat luar biasa karna harus menjalani persidangan hingga kini. Belum lagi sebelumnya ia mendapat penyiksaan secara fisik karna dipaksa mengaku. Pula kasus penyuapan polisi oleh perusahaan-perusahaan atau orang-orang besar untuk kemudian menindas orang-orang kecil yang terpinggirkan. Sungguh ironi mengingat begitu banyak nyawa-nyawa melayang demi membela sesuatu yang menjadi haknya, seperti pada kasus Mesuji, Bima dan Freeport.

Efek sampingnya ternyata tidak berhenti sampai disitu. Mau tidak mau noktah yang mencoreng penegakkan hukum di Indonesia kini merupakan embrional runtuhnya kestabilan dan kepercayaan hukum kelak. Coba bayangkan, jika sekarang saja banyak masyarakat yang tidak lagi mau menaruh rasa percaya pada hukum di Indonesia, apa jadinya negara ini beberapa tahun kedepan? kedamaian mungkin hanya akan menjadi kata kenangan yang diabadikan dalam kamus bahasa Indonesia. Naudzubillah.

Namun, hal tersebut tentu dapat dicegah. Kita sebagai masyarakat haruslah cerdas dalam mencerna berbagai berita yang ditayangkan media, dengan tidak mengeneralisasi hanya pada satu kasus saja. Kita pun hendaknya tidak lekas menjustifikasi sebelum mengkaji dan menganalisis lebih bijak. Saya yakin, dibelahan bumi Indonesia masih ada para penegak hukum yang jujur, adil dan amanah. Mereka senantiasa memperjuangkan hak masyarakat yang terdzolimi meski disisi lain harus juga berjuang mengembalikan kepercayaan masyarakat.

Kitapun tentu harus mengapresiasi intikad mulia para penegak hukum termasuk kepolisian yang akan melakukan reformasi internal demi memperbaiki kualitas dan kinerja yang diharapkan dapat memulihkan kepercayaan masyarakat. Semoga kedepan, hukum di Indonesia dapat berjalan ke arah yang lebih baik dan para penegaknya pun diberi kekuatan serta kesabaran memperbaiki semua cela. Namun bukan dengan mencari kambing hitam, melainkan dengan menunjukan prestasi dan membuktikan realisasi slogannya selama ini. Semoga kita pun sebagai masyarakat dapat bersikap kian bijak dalam menyikapi tekanan-tekanan turbulensi yang melanda negeri ini serta tidak mudah terprovokasi pihak-pihak yang tak bertanggung jawab. 

Tetap semangat membangun negeri. Hidup hukum yang adil! Hidup polisi! Hidup Indonesia!

Lihatlah lebih dekat, maka engkau akan bijaksana!




Refleksi sebuah status di facebook
05 Januari 2012, 13: 06

Vissiana Rizky Sutarmin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar