Minggu, 23 Februari 2014

Sudut Pandang #2




Jika saja tak ingat bahwa aku akan mati, sudah kucari rumahnya, kuhujani dia dengan caci maki. Aku tak perlu pikir panjang, akan aku habiskan semua sisa uang, kusewa pengacara untuk bantuku berjuang. Aku tak perlu peduli harus berurusan dengan polisi, toh semua demi harga diri, yang telah dia injak- injak hingga sakitnya tak terperi.

Oh, kiranya aku masih takut mati. Bersabarlah wahai diri..
***

Sudah sekuat tenaga kutahan diri. Seingatku aku bahkan tak pernah memarahi siapapun, kecuali adik lelakiku. Aku hampir selalu bisa menahan diri dari amarah, kecuali pada adik lelakiku, satu- satunya manusia didunia ini yang pernah melihatku marah besar. Jujur, aku tidak mengharap amarahku pada dia yang menebar jala fitnah jadi amarah besar keduaku, yang tak akan berujung baik kecuali penyesalan.

Baik, kucoba berfikir ulang. Seseorang berkata “Ingat- ingatlah hal buruk apa saja yang akan kamu lalui jika kamu mengikuti amarahmu.” Aku tau, aku harus bijak bahkan pada diriku sendiri. Aku harus duduk tenang, sejenak mencatat kemungkinan- kemungkinan terburuk yang akan terjadi.
***

Catat ini!

Pertama, aku akan menghabiskan banyak waktu. Aku mungkin akan kurang tidur. Aku mungkin akan lupa bahwa aku perlu makan. Dan bahkan, aku mungkin akan lupa pada orang- orang disekitarku. Autis. Berkutat hanya pada satu perkara, menjebloskannya ke penjara! Oh tidak, ini bahkan terlalu buruk untuk sekedar dibayangkan.

Kedua, aku akan menghabiskan banyak tenaga. Ya, aku akan merusak fisikku sedikit demi sedikit. Bukankah butuh perjuangan yang berat untukku agar bisa sehat? Sakitku bahkan belum sembuh total. Lalu sekarang, aku harus buang- buang energi sehatku hanya untuk satu perkara, menjebloskannya ke penjara! Oh tidak, ini bahkan terlalu pedih untuk sekedar dipikirkan.

Ketiga, aku akan menghabiskan banyak uang. Loh, memangnya kenapa? Begitu bukan adanya? Lapor polisi, sewa jasa pengacara, bahkan sewa jasa pengawal kalau-kalau terjadi hal yang tidak terduga. Untuk itu semua butuh uang bukan? Baik, uang memang kupunya. Tapi bagaimana dengan biaya CT Scan- ku, obat- obat, biaya ke dokter yang sudah pasti tidak sedikit dan jujur saja jauh lebih penting dan mendesak. Lalu sekarang, aku harus buang- buang uang hanya untuk satu perkara, menjebloskannya ke penjara! Oh tidak, ini bahkan terlalu memuakkan untuk sekedar diimpikan.

Akankah ku urungkan?
***
Isi kepalaku jauh lebih dingin sekarang. Banyak yang berjasa dibalik ini semua, salah satunya adalah waktu. Waktu telah banyak membantuku untuk bisa tenang, menurunkan tensi secara perlahan. Hingga aku tak sedikitpun merasa terpaksa. Semua berlalu begitu alamiah. Hingga aku merasa tak berminat lagi membahas soal amarah.

Aku tahu aku telah kembali, menjadi seseorang yang sulit sekali untuk marah. Kuharap demikian. Aku bersyukur, Tuhan.

Hatiku sudah jauh lebih lapang sekarang. Aku sadar banyak hal baik dari apa yang terjadi. Banyak sekali. Hingga akhirnya yang aku bisa hanyalah menunduk malu, malu pada Tuhan. Oh, ampunilah aku.

Aku harus duduk tenang lagi, sejenak mencatat banyaknya hal- hal baik yang aku terima. Segalanya lebih dari sekedar yang aku catat. Ini hanya sebagai pengingat, agar aku pikir ribuan kali sebelum berprasangka buruk pada-Nya.
***

Catat ini!

Pertama, ada banyak kesalahan yang aku atau keluargaku perbuat. Dan hal tersebut mungkin tak akan pernah bisa ditebus dengan kebaikan sehebat apapun. Hingga akhirnya Tuhan baik hati mau memberi kami kesempatan untuk sakit fisik dan perih hati semata- mata demi menggugurkan dosa- dosa kami. Semoga Allah mengampuni dosaku dan dosa kedua orangtuaku.

Kedua, ada banyak khilaf yang sadar atau tidak sadar telah aku dan keluargaku perbuat. Bukankah baik jika kemudian ujian datang? Hingga pada akhirnya kami sadar meluangkan waktu untuk introspeksi diri. Ada banyak sekali kelalaian. Lalai shalat tepat waktu, lalai sedekah, lalai menjaga perasaan orang lain, dan banyak kelalaian- kelalaian lainnya. Semoga Allah mengampuni dosaku dan dosa kedua orangtuaku.

Ketiga, mungkin kita terlalu mengedepankan ego kita selama ini. Hingga lupa menjaga sikap masing- masing. Kedekatan mulai renggang, kita sama- sama sibuk dengan urusan sendiri. Bukankah baik jika kemudian ujian datang? Hingga pada akhirnya kita kembali bersatu, duduk sejajar, berbagi, berfikir bersama, menyiapkan kekuatan terbaik. Kita jadi makin dekat sekarang, kita makin saling faham, kita makin saling sayang. Ini keluarga yang sempurna karena ketidaksempurnaanya. Terimakasih Tuhan.

Keempat, hingga pada akhirnya waktu pun membuktikan. Jalan kebenaran perlahan mulai terlihat. Bunda, ayah, betapa malunya diri ini. Seharusnya kita sadar diri sejak awal, kebenaran cepat atau lambat akan terbuka! Yang benar akan memang! Dan Tuhan telah buktikan itu, bahkan dengan cara yang sama sekali tak pernah kita duga. Malu rasanya pernah terkuasai emosi, meski aku manusia biasa, aku tetap malu. Maha Suci Allah. Semoga Ia mengampuni dosaku dan dosa kedua orangtuaku.

Biarlah ini jadi pengingat kecil. Karena kebaikan Tuhan tak akan pernah cukup untuk dicatat.
Biarlah ini jadi pengingat kecil. Agar kita semua sentiasa lebih baik setiap waktunya.

Biarlah..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar