“Apa yang kamu alami dan orang-
orang yang kamu temui itu bukan kebetulan. Hal tersebut memang sudah
ketetapan-Nya. Dan ketetapan-Nya tidak mungkin sia- sia dan tanpa hikmah.”
Kurang
lebih itulah yang disampaikan guru mengaji saya, Pak Asep Rohmat, beberapa
waktu lalu. Entah ada angin dari mana, tiba- tiba saja beliau menelpon dan
berkata demikian. Tapi memang tepat rasanya. Karena saat itu saya sedang ragu. Ragu
dengan apa yang saya alami dalam hidup beberapa waktu kebelakang. Kadang terfikir,
“sebenarnya ada apa dibalik ini semua?
Tuhan, apa yang hendak Engkau tunjukkan?”
Tidak
pernah terbersit dalam fikiran saya bahwa saya akan menjadi seperti saat ini. Saya
yang dalam banyak hal mirip sekali seperti saya saat kecil dahulu. Saya kira
saya akan terus menjadi saya yang terbentuk kurang lebih 6 tahun lalu. Sebuah pribadi
yang sejujurnya dibentuk pihak lain. Seorang teman menyebut itu tindakan
pembunuhan karakter. Tapi tak mengapa, saya sudah maafkan orang- orang itu. Toh,
saya tidak mungkin menjadi saya yang sekarang tanpa alami dulu masa- masa
tersebut.
Pak
Asep selalu meyakinkan saya bahwa tidak ada yang salah dengan yang saya alami. Tapi
memandang teman- teman lama saya dari kejauhan hampir selalu membuat saya
menangis. Sedih, karena demi mendapatkan pribadi ini saya harus mengalami
banyak hal berat. Termasuk salah satunya, kehilangan teman.
Tidak
pernah ada ucapan lugas dari mulut mereka bahwa karena saya berubah lantas
mereka tidak lagi ingin berteman. Tidak demikian! Hanya saja, kenapa ya,
segalanya jadi berubah. Saat bersama kalian, saya membawa utuh hati, mata,
telinga dan fikiran saya. Tapi sebagai manusia yang dibekali intuisi, saya
merasakan segala hal kebalikan. Kalian dekat saya, tapi hati, mata, telinga dan
fikiran kalian tidak.
Semoga
intuisi saya salah. Ya, semoga ini salah!
Saya
katakan pada Pak Asep bahwa saya menjadi diri saya yang sekarang dengan banyak
sekali bahan baku. Diantaranya 10 kali kecelakaan lalu lintas, sakit yang
hampir merenggut nyawa saya, ibu yang merasa tidak mengenali saya, adik- adik
yang merasa asing dan keinginan untuk menjadi diri sendiri yang saya kekang. Oh,
rupanya saya telah membutakan mata dari peringatan- peringatan. Tidak! Saya tidak
akan menjadi orang lain lagi hanya untuk dapat teman. Terlalu banyak
pengorbanan yang akan saya sia- siakan jika saya kembali hidup dalam kepura-
puraan dan senyum semu.
“Pak,
hanya ini yang bisa saya lakukan. Jalan saya memang tidak sama seperti
kebanyakan teman saya. Saya nyaris merasa berbeda sendiri. Tapi saya janji pak
pada Allah, saya akan terus berusaha jadi hamba terbaik.”
Dengan
tenang beliau katakan, bahwa Allah Maha Tahu, sedang kita tidak Tahu, Allah
tahu betul isi hati setiap hamba-Nya, baik yang nampak maupun yang tersembunyi.
Jadilah apapun selama Allah tetap jadi satu- satunya pembela.
“Jangan
khawatir, maju terus selama kamu yakin! Ke Jakarta tidak melulu mesti lewat Tol
Cipularang. Jadi manusia berguna bisa kamu lalukan dengan banyak hal positif. Sekarang
mah gimana kita dimata Allah. Kalau kita
disibukkan dengan hal tersebut, kita tidak akan perduli orang lain bilang apa.
Fokus saja, Allah!”
Saya
akui dunia sekarang memang kian memusingkan. Maksud saya bukan dunianya, tapi
kita, penghuninya. Mau tidak mau saya harus akui bahwa terkadang saya bingung
harus memilih jalan yang mana. Ditengah kian banyaknya organisasi, aliran, jama’ah
dan kelompok- kelompok Islam tertentu. Apakah kalian merasakan hal yang sama?
Berat
sekali saya katakan bahwa Ibda’ Binafsik adalah jalan keluarnya. Terdengar naïf.
Tapi mau bagaimana lagi. Segala permasalahan akan berujung pada Ibda’ Binafsik bukan?
Mulailah
segala hal baik dari diri sendiri. Akui saja, semakin sedikit bukan orang yang
mau mendengarkan ucapan kita jika ucapan tersebut tidak sesuai kenyataan. Kita saja
hampir muak mendengar ceramah seseorang bila kenyataannya orang tersebut tidak
mengamalkannya. Padahal Islam sendiri mengajarkan kita untuk mendengar apa yang
diucapkan, bukan melihat siapa yang mengucapkannya. Tapi sulit dihindari bukan?
Penyakit hati kita.
Saya
tidak akan menuntut semua orang untuk berfikiran sama. Tidak akan pernah. Karena
memang tidak mungkin. Tapi tolong, untuk malam ini saja, kita semua renungkan
makna Ibda’ Binafsik. Mari kita sama- sama bayangkan terlebih dahulu jika
seluruh umat muslim dapat “membawa diri” masing- masing. Damai bukan?
“Tapi kita harus berdakwah, amar ma’ruf
nahyi munkar!”
Setuju.
Sangat setuju. Bahkan menurut saya itu adalah fitrah manusia. Diingatkan bila
salah, diberi nasehat- nasehat baik, diberi pengarahan, bimbingan dll. Kita adalah Da’i
sebelum menjadi apapun. Maka lakukan yang terbaik yang bisa kita lakukan. Selamatkan sebanyak mungkin yang dapat kita selamatkan. Diri kita, keluarga kita, saudara kita, teman- teman kita dan semua orang yang kita sayangi.
Tapi
bolehkan saya tetap memasukkan Ibda’ Binafsik sebagai komposisi penting dalam
menghadapi hidup, dalam dakwah?
Tolong
ingatkan saya jika ini pemahaman yang keliru!
“Wahai orang-orang beriman,
selamatkanlah dirimu dan keluargamu dari Neraka, sedangkan bahan bakarnya
adalah manusia dan batu. Neraka itu dijaga oleh malaikat-malaikat yang kasar
dan keras. Mereka sama sekali tidak pernah durhaka pada Allah dan melaksanakan
apa saja yang diperintahkan pada mereka”. (QS Attahrim: 6 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar