Beberapa
bulan yang lalu saat saya dan bunda masih harus bolak- balik Rumah Sakit Al-
Ihsan Baleendah, saya ingat betul bagaimana rasa dan aroma setiap sudut ruang
kakek dirawat karena pecah pembuluh darah. Ya, bagi saya, Apa (kakek saya)
adalah manusia terakhir dan satu- satunya sosok yang benar- benar membela
keluarga saya. Setelah berturut- turut saya kehilangan mamah, kemudian emak,
kemuadian Apa Atib. Jauh sebelum itu, bahkan jauh sebelum bunda dewasa, Nenek Rukaesih
pun pergi meninggalkan kami.
Sampai
pada suatu hari saya pergi keluar ruangan dimana Apa dirawat. Saya benar- benar
tidak tahan dengan pemandangan dimana tiga orang perawat mengganti selang di
hidung Apa. Apa terlihat benar- benar kesakitan, dia merintih. Saya tidak bisa
menahan diri melihat hal tersebut, lantas saya pun memilih untuk pergi ke taman
rumah sakit.
Hanya
bisa duduk termenung sambil sesekali menjatuhkan air mata. Kasihan Apa, harus
menderita sakit sekeras ini. Rasanya ingin sekali marah pada orang yang telah
menjadi penyebab Apa sakit. Ya, orang yang menurut saya sangat jahat. Oh,
kadang hidup ini terasa tidak adil!
Hingga
teguran seseorang menyadarkan saya dari lamunan. Oh, rupanya pedagang asongan.
Dia pun duduk sekitar semeter dari samping saya. Saya saat itu sempat kaget,
siapa dia tiba- tiba duduk. Tanpa basa- basi pedagang asongan itu pun bicara
banyak hal yang membuat saya tercengang.
“Kenapa teh, lagi sedih ya? Memang
siapa yang sakit?” tanya nya.
“Kakek saya.”
Jawab saya.
“Hidup ini memang tidak adil ya
teh. Dulu saat sekolah saya selalu berusaha belajar keras agar memahami
pelajaran. Saya pun berusaha jadi manusia jujur. Saya tidak pernah menyontek,
saya tidak pernah bolos. Ya bisa dibilang saya anak yang baik dan rajin.”
Sampai
disitu saya masih belum mengerti, mengapa orang asing tiba- tiba bicara seperti
itu. Padahal saat itu saya pun tengah terbebani dengan berbagai masalah.
“Hidup memang tidak adil ya. Teman
saya yang dulu waktu sekolah bangkar nya minta ampun, udah sering nyontek,
sering bolos, nyusahin orang tua, banyak temen- temen yang sakit hati lagi
karena kelakuan dia. Tapi ya kok, kenapa sekarang dia sukses ya? Sedangkan saya
sudah berusaha jadi anak baik dan jujur hanya bisa jadi pedagang asongan
seperti ini?” lanjutnya.
Saya
benar- benar kikuk dan tidak tahu harus berkata apa. Suka tidak suka hati kecil
saya pun memang mengamini, bahwasanya banyak sekali kejadian dalam hidup yang
napak begitu tidak adil. Termasuk pada apa- apa yang pernah saya alami sendiri.
Saya hanya bisa diam, memperhatikan pedagang asongan itu memandang kelangit.
Dari sorot matanya, saya tahu dia sedang memikirkan banyak hal.
“Allah Maha Adil ko teh. Saya bahagia jadi
pedagang asongan dan saya ikhlas.” Ujarnya tiba- tiba.
Saya
masih terdiam dan hanya bisa tersenyum sambil melihat ke arahnya sesekali.
“Eh saya mau lanjut jualan lagi ya
teh, mudah- mudahan kapan- kapan bisa ketemu lagi. Cepet sembuh ya kakeknya.”
Lanjutnya sambil berdiri akan pergi.
“Oh, iya. Aamiin, makasih.”
Jawab saya pada pedagang asongan tersebut yang bahkan hingga saat ini belum
saya tahu namanya.
Masih
sambil termenung di serambi rumah sakit, memandang kearah taman. Pikiran saya
pun dipenuhi banyak hal. Malu rasanya jika harus merana terlalu lama, sedang
diluar sana begitu banyak orang bisa tetap kuat ditengah beratnya cobaan yang
harus dilalui.
Jujur,
saya memang sempat berfikir “ko hidup ini
ga adil ya?”. Tapi baru sepintas saja kata- kata itu muncul di fikiran saat
sedang melamun di serambi rumah sakit, tiba- tiba saja Allah datangkan sosok
pedagang asongan yang dengan celotehannya memaksa saya untuk bangun dan sadar.
Astagfirullah.
Ya, saya mengerti. Jika pelajaran dari suatu ujian belum kita dapatkan, maka
bukan berarti pelajaran itu tidak ada. Dan, jika hikmah dari suatu cobaan belum
kita rasakan, maka bukan berarti juga hikmah itu tidak ada. Barangkali kita lah
yang terlambat untuk memahaminya, atau malah terlalu menutup mata, hati, jiwa
dan pikiran kita sehingga pelajaran dan hikmah dari satu kejadian tidak dapat
kita pandang secara jernih dan terbuka.
Tunggu,
lihat dan rasakanlah. Pelajaran dan hikmah itu akan selalu ada. Mungkin tidak
saat ini, mungkin tidak esok hari, mungkin juga tidak tahun ini. Tapi bukan
berarti tidak ada. Percayalah, kelak, cepat atau lambat, saat pelajaran dan
hikmah bisa kita rasakan, tidak ada kata- kata lain yang akan keluar dari
relung hati kita yang paling dalam selain.. Istigfar dan Hamdalaah..
“Allah, beri kami kekuatan untuk
selalu taat, beri kami petunjuk untuk dapat memahami kasih sayang-Mu, beri kami
kelapangan jiwa dalam menerima setiap takdir dari-Mu.”Aamiin..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar