Sabtu, 11 April 2015

Tentang Hikmah





Beberapa bulan yang lalu saat saya dan bunda masih harus bolak- balik Rumah Sakit Al- Ihsan Baleendah, saya ingat betul bagaimana rasa dan aroma setiap sudut ruang kakek dirawat karena pecah pembuluh darah. Ya, bagi saya, Apa (kakek saya) adalah manusia terakhir dan satu- satunya sosok yang benar- benar membela keluarga saya. Setelah berturut- turut saya kehilangan mamah, kemudian emak, kemuadian Apa Atib. Jauh sebelum itu, bahkan jauh sebelum bunda dewasa, Nenek Rukaesih pun pergi meninggalkan kami.

Sampai pada suatu hari saya pergi keluar ruangan dimana Apa dirawat. Saya benar- benar tidak tahan dengan pemandangan dimana tiga orang perawat mengganti selang di hidung Apa. Apa terlihat benar- benar kesakitan, dia merintih. Saya tidak bisa menahan diri melihat hal tersebut, lantas saya pun memilih untuk pergi ke taman rumah sakit.


Hanya bisa duduk termenung sambil sesekali menjatuhkan air mata. Kasihan Apa, harus menderita sakit sekeras ini. Rasanya ingin sekali marah pada orang yang telah menjadi penyebab Apa sakit. Ya, orang yang menurut saya sangat jahat. Oh, kadang hidup ini terasa tidak adil!

Hingga teguran seseorang menyadarkan saya dari lamunan. Oh, rupanya pedagang asongan. Dia pun duduk sekitar semeter dari samping saya. Saya saat itu sempat kaget, siapa dia tiba- tiba duduk. Tanpa basa- basi pedagang asongan itu pun bicara banyak hal yang membuat saya tercengang.

“Kenapa teh, lagi sedih ya? Memang siapa yang sakit?” tanya nya.

“Kakek saya.” Jawab saya.

“Hidup ini memang tidak adil ya teh. Dulu saat sekolah saya selalu berusaha belajar keras agar memahami pelajaran. Saya pun berusaha jadi manusia jujur. Saya tidak pernah menyontek, saya tidak pernah bolos. Ya bisa dibilang saya anak yang baik dan rajin.”

Sampai disitu saya masih belum mengerti, mengapa orang asing tiba- tiba bicara seperti itu. Padahal saat itu saya pun tengah terbebani dengan berbagai masalah.

“Hidup memang tidak adil ya. Teman saya yang dulu waktu sekolah bangkar nya minta ampun, udah sering nyontek, sering bolos, nyusahin orang tua, banyak temen- temen yang sakit hati lagi karena kelakuan dia. Tapi ya kok, kenapa sekarang dia sukses ya? Sedangkan saya sudah berusaha jadi anak baik dan jujur hanya bisa jadi pedagang asongan seperti ini?” lanjutnya.

Saya benar- benar kikuk dan tidak tahu harus berkata apa. Suka tidak suka hati kecil saya pun memang mengamini, bahwasanya banyak sekali kejadian dalam hidup yang napak begitu tidak adil. Termasuk pada apa- apa yang pernah saya alami sendiri. Saya hanya bisa diam, memperhatikan pedagang asongan itu memandang kelangit. Dari sorot matanya, saya tahu dia sedang memikirkan banyak hal.

 “Allah Maha Adil ko teh. Saya bahagia jadi pedagang asongan dan saya ikhlas.” Ujarnya tiba- tiba.
Saya masih terdiam dan hanya bisa tersenyum sambil melihat ke arahnya sesekali.

“Eh saya mau lanjut jualan lagi ya teh, mudah- mudahan kapan- kapan bisa ketemu lagi. Cepet sembuh ya kakeknya.” Lanjutnya sambil berdiri akan pergi.

“Oh, iya. Aamiin, makasih.” Jawab saya pada pedagang asongan tersebut yang bahkan hingga saat ini belum saya tahu namanya.

Masih sambil termenung di serambi rumah sakit, memandang kearah taman. Pikiran saya pun dipenuhi banyak hal. Malu rasanya jika harus merana terlalu lama, sedang diluar sana begitu banyak orang bisa tetap kuat ditengah beratnya cobaan yang harus dilalui.

Jujur, saya memang sempat berfikir “ko hidup ini ga adil ya?”. Tapi baru sepintas saja kata- kata itu muncul di fikiran saat sedang melamun di serambi rumah sakit, tiba- tiba saja Allah datangkan sosok pedagang asongan yang dengan celotehannya memaksa saya untuk bangun dan sadar.

Astagfirullah. Ya, saya mengerti. Jika pelajaran dari suatu ujian belum kita dapatkan, maka bukan berarti pelajaran itu tidak ada. Dan, jika hikmah dari suatu cobaan belum kita rasakan, maka bukan berarti juga hikmah itu tidak ada. Barangkali kita lah yang terlambat untuk memahaminya, atau malah terlalu menutup mata, hati, jiwa dan pikiran kita sehingga pelajaran dan hikmah dari satu kejadian tidak dapat kita pandang secara jernih dan terbuka.

Tunggu, lihat dan rasakanlah. Pelajaran dan hikmah itu akan selalu ada. Mungkin tidak saat ini, mungkin tidak esok hari, mungkin juga tidak tahun ini. Tapi bukan berarti tidak ada. Percayalah, kelak, cepat atau lambat, saat pelajaran dan hikmah bisa kita rasakan, tidak ada kata- kata lain yang akan keluar dari relung hati kita yang paling dalam selain.. Istigfar dan Hamdalaah..


“Allah, beri kami kekuatan untuk selalu taat, beri kami petunjuk untuk dapat memahami kasih sayang-Mu, beri kami kelapangan jiwa dalam menerima setiap takdir dari-Mu.”Aamiin..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar