Semua
berawal saat aku begitu sangat ingin punya teman. Ya, teman. Tapi maksudku
teman yang sesungguhnya. Bukan teman yang sekedar status, cukup saling tahu
nama dan bertegur sapa. Apalagi sekedar teman facebook yang dengan mudah terhubung
meski tak pernah bersinggungan barang satu waktu.
Kau
lihat sendiri bukan? Temanku banyak. Cukup berjalan saja dari gerbang kampus
menuju ruang kelas, sudah puluhan orang yang menyapa. “Hai, apa kabar?”,
“Assalammu’alaikum?”, “Kemana saja kamu?”.
Kau
lihat sendiri bukan? Banyak orang yang “nampak” seolah teman dekatku. Mereka
dapat posisi seakan paling tahu aku ini siapa. Mereka yang dirasa sangat dekat
dan sangat memahami diri padahal aku sendiri hanya cerita sedikit, itupun hanya
untuk formalitas bahwa aku menganggap mereka teman yang sangat dekat.
Ini
bukan salah mereka. Tolong catat ini! Tak ada satupun dari ribuan temanku yang
salah. Aku yang salah. Aku bahkan kesal pada diriku sendiri. “Kenapa pelit
sekali beri kepercayaan?”
Izinkan
aku beri sedikit rasa maklum pada diriku sendiri. Setelah banyak waktu
kuhabiskan untuk mengutuk diri. Tentang mengapa diri ini begitu rumit dipahami
bahkan oleh diri sendiri, tentang mengapa banyak dari tindakanku yang dipandang
aneh orang banyak, tentang diri yang amat sulit berceritera lewat lisan guna
menjadi pengemban amanah hati dan fikiran.
Izinkan
aku beri sedikit rasa maklum pada diriku sendiri. Oh, biarlah diri ini begini,
setiap orang punya ciri khas bukan? Hal- hal buruk tentang pengkhianatan orang-
orang yang terlanjur ku beri kepercayaan, tentang aku yang tak didengar dengan
baik padahal sudah banyak energi yang habis untuk mengoceh, tentang mereka yang
dengan dingin berkata, “maaf kawan, aku tak merasa diperdengarkan apa- apa.
Jangan salahkan aku jika kau rasa sendirian. Kau hanya berlebihan. Biasa saja
lah!”
Lalu
sekarang, apa semua sepenuhnya salahku jika aku ingin meledak karena tanggung
menyimpan segala rasa sendirian? Apa semua sepenuhnya salahku jika kemudian
rasa percaya jadi begitu sulit untuk kuberikan?
***
Semua
berawal dari akumulasi cobaan yang harus aku hadapi. Terserah kau mau bilang
apa. Tapi ini cukup membuat otakku penuh. Belum juga kering luka sayatan
dibadan, datanglah lagi luka baru yang amat menyakitkan. Aku ingin berbagi.
Tapi tak tahu pada siapa. Aku ingin berbagi. Tapi tak tahu harus seperti apa
caranya.
Sial!
Mengapa pula yang terfikir olehku itu namamu. Aku hampir menganggap ini sebuah
kesalahan yang aku lakukan bahkan dilangkah pertama yakni, terfikir. Baru diotak saja aku sudah merasa bersalah, bagaimanakah
lagi jika aku merealisasikannya? Oh Tuhan, aku tahu Engkau Maha Baik. Sedikit
berbagi pada seseorang kuharap bukanlah dosa.
Baik,
aku urungkan saja. Aku bahkan tidak tahu harus memulainya dengan kata apa. Sapa
dulu, tanyakan kabarnya, ah, sudahlah, ini saja hampir membuatku muak! Selesai
sampai disini, rencanaku untuk berbagi, batal!
Tapi
tunggu, aku bukan robot! Please, aku pun punya hati untuk merasa dan otak untuk
berfikir. Aku hampir tak tahan lagi dengan semua beban yang kupendam hampir
seumur hidupku. Ayah, bunda, teman- temanku, mereka semua tidak bersalah.
Mereka hanya tak punya cukup waktu, dan kami tak pernah dapat titik temu. Oya,
merekapun punya urusan hidup yang harus mereka jalani. Ini alasan yang cukup,
bahwa mereka seyogyanya adalah orang- orang baik, yang tak ingin aku ganggu.
***
Izinkan
aku beri sedikit waktu pada diri untuk dipahami. Bahwa aku terlahir bukan
sebagai seorang manusia super. Tolong garis bawahi ini! Aku hanya manusia
biasa, yang sewaktu- waktu tak tahan menanggung segala hal yang telah terjadi
sendiri. Aku sangat ingin berbagi. Sedikit dapat motivasi. Dan, dipandang
dengan sudut prasangka yang baik tanpa caci maki.
***
Jangan
tanyakan dulu mengapa kamu yang aku ajak berbagi! Aku sendiri pun tidak tahu.
Bingung. Aneh juga rasanya. Mengingat kamu hanyalah seseorang yang aku kenal
selewat saja.
Baik,
aku hanya ingin merasa punya teman. Tolong jangan salah faham.
Hingga
permulaan dari segalanya pun dimulai.
***
Kita
tak berbincang cukup lama, tapi entah mengapa aku merasa mengenal kamu dengan
baik. Semuanya mengalir begitu saja seolah kamu bukan orang asing. Kita baru
bicara satu tema saja, itupun secara tak langsung. Tapi kaget, tawa, sedih dan
kecewa bisa aku rasakan diwaktu yang hampir bersamaan. Kamu juga kah?
Semua
mengalir begitu saja. Apa ini sebuah kesalahan?
***
Aku
sadar betul aku belumlah bisa dikatakan sebagai orang yang baik. Tapi aku
hampir selalu merasa bersalah tiap kali pembicaraan kita berlanjut, pada tema-
tema lain. Misalnya kabar, kegiatan atau sekedar perkembangan studi. Aku tahu
Tuhan Maha Baik. Dia tahu maksudku lebih dari apapun dan siapapun.
Aku
hanya ingin punya teman. Tolong jangan berfikir buruk tentangku.
***
Hingga
pada suatu ketika muncul satu tanya yang membuat luka lamaku terasa perih
kembali. Maaf, tapi jujur saja pertanyaannya membuat aku kesal. Kesal pada diri
sendiri. Mengapa membiarkan lagi orang lain menyinggung hal yang sesungguhnya
sangat ingin aku simpan rapat- rapat.
Tapi
bukan salahnya. Wajar saja jika dia ingin tahu. Tapi masalahnya semua tak
sesederhana ini. Jika aku jelaskan yang sebenarnya, maka itu akan mengundang
sisi- sisi lain yang amat sangat privat. Jujur, aku masih takut kalau- kalau
dia bukan orang yang tepat.
***
Kamu
nampak kecewa waktu kubilang aku tak mau membahasnya. Semuanya jadi terasa
aneh. Aneh sekali. Kenapa jadi begini. Oh, hal yang kutakutkan nampak terjadi
lagi. Aku berbagi, tapi tak sepenuh hati, hingga itu jadi sebuah makna tersirat
yang menyakitkan. Kamu merasa tidak dipercaya.
Dengarkan
ini baik- baik! Setelah ini aku berjanji akan membiarkanmu mengambil langkah
dan pemikiran sendiri. Setelah ini aku berjanji tak akan hadir lagi jika itu
kamu rasa mengganggu. Dengarkan ini baik- baik!
Aku
tak ceritakan sepenuhnya, bukan berarti itu isyarat bahwa kamu tidak bisa
dipercaya. Sama sekali tidak seperti itu! Aku hanya tidak tahu harus memulainya
dari mana. Hanya itu!
Aku
tahu kamu orang yang baik, dan bisa dipercaya.
Aku
harap kita bisa berdamai dan berteman sekarang.
Memulai
segalanya lagi dari garis awal yang menyenangkan.
Maaf
mengganggu..